Semangat Toleransi yang Bersumber dari Pengembaraan Mencari Guru
KAMPUNG Pancasila itu bermula dari pengembaraan panjang Kiai Ali Mursyid. Selama 1980-an, dia berkelana mencari guru hingga bertemu Kiai Muhaimin di Pasuruan, Jawa Timur.
Saat kembali ke Desa Bulakrejo di Kabupaten Madiun, Kiai Ali Mursyid membangun rumah dan masjid untuknya berdakwah. ’’Awal bangun itu, beliau mewujudkan konsep kerukunan lewat pintu rumah utama yang menunjukkan simbol empat agama,” jelas Marjoko, kerabat Kiai Ali Mursyid, kepada Jawa Pos Radar Madiun Rabu (29/3).
”Ada masjid, salib, Candi Borobudur, dan candi Hindu,” lanjutnya.
Kiai Ali Mursyid berpulang pada 2007. Tapi, semangat penghormatan kiai yang menjadi jujukan belajar agama warga sekitar itu pada semua agama diteruskan para kerabat.
Pada 2012 mulai dibangunlah replika tempat ibadah di kediaman peninggalan sang kiai. Hingga 2019, berdirilah lima replika tempat ibadah yang kini dijuluki ikon Kampung Pancasila tersebut.
’’Ciri khas dari tempat ini, setahu saya, ini satu-satunya rumah perorangan yang memiliki miniatur tempat ibadah yang dibangun mandiri. Tidak ada campur tangan pemerintah atau instansi swasta,” beber Marjoko.
Sejak 2019 itu pula, rumah Kiai Ali Mursyid ramai didatangi para peziarah maupun pengunjung dari berbagai daerah. Mereka berbondong-bondong menyaksikan potret toleransi di tempat tersebut yang ditandai adanya masjid/musala untuk kalangan muslim, gereja bagi umat Kristen, pura untuk warga Hindu, wihara bagi pemeluk Buddha, dan kelenteng untuk umat Khonghucu itu.
’’Kediaman kakek saya itu mengandung beberapa hal, mulai religi, ada keragaman Bhinneka Tunggal Ika sehingga muncul Kampung Pancasila,” kata Marjoko.
Keluarga menerapkan pemikiran Kiai Ali Mursyid semasa hidup dengan lebih artistik dan visual. Selain menunjukkan penghormatan kepada keberagaman keyakinan di Nusantara, rumah itu menggambarkan keasrian alam yang diwujudkan dengan adanya aksen batu-batu pilihan yang dikumpulkan dari berbagai sungai. Ada pula bentuk-bentuk hewan seperti keong dan masih banyak lagi unsur alam lain dengan paling besar berupa kolam ikan di tengah yang dikelilingi replika tempat ibadah.
’’Semua konsep arsitektur di sini merupakan pemikiran beliau sendiri (Kiai Ali Mursyid). Termasuk memanfaatkan kelereng menjadi dinding dan pot ini juga dari beliau. Tak jarang di sini juga disebut rumah kelereng,” ujar Marjoko.
Semua pembangunan kediaman dari awal hingga menjadi salah satu destinasi wisata itu merupakan pengelolaan mandiri dan pribadi dari peninggalan Kiai Ali Mursyid. Para kerabat yang saat ini meneruskan pengelolaan juga berasas musyawarah serta kesepakatan bersama karena tidak ada yang punya hak kepemilikan setelah beliau meninggal.
Kiai Ali Mursyid tidak menikah dan tidak memiliki saudara kandung. Jadilah para cucu keponakan seperti Marjoko yang mengelola bersama-sama.
’’Statusnya pun masih peninggalan Kiai Ali Mursyid,” terangnya.
Mengingat semua konsep dan penganggaran dilakukan mandiri oleh sang kiai, dengan kesepakatan bersama bahwa tidak ada pungutan biaya tiket masuk bagi warga yang ingin berkunjung untuk berziarah atau berwisata. Begitu pula jika pemerintah desa atau daerah hendak memanfaatkan tempat tersebut untuk kegiatan. Tak ada pungutan apa pun. Asal sudah berizin ke pemerintah desa setempat.
Wujud keragaman dan kerukunan beragama yang diaplikasikan dalam miniatur lima tempat ibadah itulah yang menjadi daya tarik pengunjung. Jadi, mereka tak cuma bisa berziarah langsung di makam sang kiai. Ada pula pengunjung yang penasaran apa saja yang ada di dalam kediaman Kampung Pancasila tersebut.
Mereka tak hanya datang dari kawasan Kabupaten dan Kota Madiun. Namun, tak jarang ada juga yang berasal dari berbagai luar kota, bahkan dalam rombongan besar menggunakan bus atau kendaraan travel.
’’Paling ramai itu saat Jumat, Sabtu, dan Minggu. Mulai anak-anak sekolah yang bertujuan belajar mengenal macam-macam agama, para remaja yang berniat foto-foto menikmati pemandangan, hingga para orang tua yang ingin berwisata religi,” tuturnya.
Digratiskannya tiket masuk juga menguntungkan para pengunjung. Risma Sari, warga asal Pilangkenceng, Kabupaten Madiun, misalnya, mengaku jadi bisa berwisata dengan bujet minim. Terlebih saat puasa seperti ini. ’’Di sini sudah murah, dekat, dan asri, cocok untuk refreshing sejenak. Bonusnya bisa buat konten ala Ramadan kareem di media sosial,’’ tuturnya.