GEMURUH agresi Rusia ke Ukraina menjadi daya tarik utama pemberitaan di berbagai media massa dunia dalam beberapa hari terakhir. Media cetak, daring, televisi, maupun radio berlomba menyajikan tulisan dan foto-foto yang paling aktual, paling menarik, serta paling mengharu biru. Ledakan rudal dan bayi-bayi yang lahir di bunker Kota Kiev menjadi tayangan yang acap diputar di stasiun televisi. Dalam kerangka itu, media massa dihadapkan pada kekuatan militer superdahsyat, supercanggih, dengan kekuatan finansial superbesar yang tengah menyerang negara ’’kecil’’ bekas ’’saudara kandungnya’’ sendiri.

Drama perang kemanusiaan yang sedang terjadi membuat ratusan korban sipil tewas dan terluka. Semua itu menambah kontroversi perang yang diputuskan sepihak oleh Rusia, yang hanya didukung segelintir negara. Tak heran, kini jutaan warga dunia mengecam dan menentang keras perang itu. Sebagian besar bahkan menganggap serangan Rusia sebagai crime against humanity. Kejahatan terhadap manusia yang kali pertama didengungkan setelah berakhirnya Perang Dunia II.

Meski demikian, Rusia tetap tidak menurunkan eskalasi agresinya. Negeri Beruang Merah terus merangsek ke Ukraina, melakukan invasi di lokasi-lokasi penting seperti bandara dan pangkalan militer. Lalu, apa yang terjadi kepada jurnalis peliput perang itu?

Sebagai manusia, dalam meliput sebuah konflik, wartawan tak bisa hanya menjadi sosok pengungkap fakta dan data. Seorang jurnalis juga wajib menjadi penyaji informasi yang objektif dan netral sebagai salah satu pedoman dalam etika pemberitaan. Hal itu penting karena banyak sekali produk jurnalistik yang ditunggangi sebagai part of front line, atau dimanfaatkan pihak-pihak yang bertikai sebagai alat untuk membuat propaganda perang komunikasi.

Martin Bell, jurnalis senior BBC yang meliput sebelas perang, mulai Perang Teluk, Vietnam, El Salvador, Malvinas, sampai Bosnia, memberikan anjuran peliputan jurnalisme keterkaitan atau journalism of attachment. Bell menganjurkan liputan yang peduli dan bertanggung jawab terhadap terjadinya sebuah tragedi kemanusiaan.

’’By this I mean a journalism that cares as well as knows, that is aware of its responsibilities, that will not stand neutrally between good and evil, right and wrong, the victim and the oppressor,’’ ungkap Bell yang dikutip Matthew Kieran di bukunya, Media Ethics (1998).

Menurut Bell, kejahatan perang skala besar kemungkinan tidak akan terjadi jika ada kamera yang meliputnya. Artinya, berita berupa teks, video, dan foto tidak hanya merepresentasikan kenyataan, namun bisa membantu membuat kenyataan. Keikutsertaan wartawan dalam rombongan militer (embedded journalism) bisa menjadi saksi tingkah laku tentara di gelanggang pertarungan.

Pimpinan pasukan perang akan berpikir ribuan kali sebelum melancarkan aksinya karena peluang penayangan di media menjadi jauh lebih besar. Karena itu, sering kali kita menonton tayangan yang memperlakukan tawanan dengan ’’lebih beradab’’ karena ada wartawan di dekatnya.

Meski demikian, jurnalisme keterkaitan yang menolak netralitas dalam peliputan perang yang tak seimbang itu juga menuai banyak kritik. Melalui bukunya, Investigative Journalism: Context and Practice (2000), Hugo de Burgh mengatakan bahwa tugas paling utama seorang jurnalis hanyalah mengungkap fakta.

’’Sah-sah saja bersimpati kepada korban. Namun, tugas utama wartawan bukan untuk bersimpati, tapi untuk mengerti,’’ tulisnya. Menurut Burgh, jika seorang jurnalis ingin menyetop tragedi kemanusiaan, sebaiknya jadilah aktivis HAM. Dan jika ingin memengaruhi cara pikir orang, jadilah politikus.

Burgh melanjutkan, jurnalis yang baik itu bisa diterima dan dipercaya semua pihak, bukan hanya menguntungkan satu pihak tertentu. Opini tersebut selaras dengan fakta bahwa kebanyakan embedded journalist hanya memberitakan liputan di seputar gerakan tentara yang ’’melindunginya’’. Ketika ada jurnalis yang terluka atau kelaparan, hampir bisa dipastikan ia akan mendapat gratifikasi fasilitas, pangan, dan sumber daya lain dari kubu tentara yang ia ikuti.

Karena itu, sangat penting menjaga jarak dan menepikan ikatan perasaan saat melakukan peliputan perang. Ketika ada keterkaitan emosi antara wartawan dan narasumbernya, maka tanpa disadari hanya tersisa sekat tipis rapuh untuk menyeleksi dan memanipulasi fakta yang menguntungkan satu pihak saja.

Mengutip jurnal Samuel Peleg, Peace Journalism Through the Lense of Conflict Theory: Analysis and Practice (2006), media berperan penting dalam konteks sebuah perang. Media tidak boleh memberitakan konflik tanpa disertai tanggung jawab sebagai akibat pemberitaannya. Hal itu mutlak ditumbuhkan sebagai kesadaran berpikir di kalangan jurnalis agar tak sekadar memberitakan konflik, tapi juga berperan mendamaikan konflik itu sendiri. Jurnalisme harus bisa menjadi aktor perdamaian dan menjadi bagian dari resolusi konflik. Lebih lanjut, media massa menjadi pihak ketiga dalam konflik yang bertugas sebagai fasilitator komunikasi, mediator, dan arbitrator di antara dua kubu yang berseteru.

Jika perang Rusia-Ukraina tetap berlanjut dan semakin banyak korban sipil yang berjatuhan, maka jelaslah bahwa tragedi itu bukan hanya soal kejahatan Vladimir Putin. Namun juga keterlibatan ’’kejahatan tak bersuara’’, yaitu diam dan acuh tak acuhnya media-media terhadap kehancuran dan kematian korban sipil di Ukraina.

Jurnalis, dengan difasilitasi media arus utama, bisa berperan sebagai pembentuk opini publik yang mendesak pemerintah kedua negara untuk gencatan senjata. Hasil journalism of attachment yang berfokus pada fakta perang juga wajib diresonansikan seluas-luasnya. Tak hanya dipublikasikan di negara-negara yang sejak awal antiperang, tetapi juga seluruh dunia.

Sudah saatnya pewarta mengedepankan pengarusutamaan jurnalisme damai, yang hadir sebagai kritik atas jurnalisme perang yang selalu menjual fakta kalah menang, berfokus pada aksi-aksi kekerasan, menekankan semangat bertikai dan bermusuhan antarpihak yang berkonflik, seperti yang dikemukakan Lynch & McGoldrick (2012). Jurnalis juga wajib menjaga nalar kritis agar bisa melihat kekerasan konflik sebagai perkara dan situasi kehidupan yang sepatutnya tidak terjadi. Sebab, pada akhirnya, kita semua tidak menginginkan yang terkuat yang menang. Kita semua berharap kemanusiaan-lah yang menang.


*) Hendra Eka, pewarta foto Jawa Pos

By admin