SKANDAL suap penerimaan mahasiswa di Universitas Lampung (Unila) pada 2022 lalu merupakan salah satu kasus yang menggegerkan publik (KPK, 2022). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat Karomani yang saat itu menjabat rektor Unila. Ia mematok harga hingga ratusan juta rupiah untuk meloloskan calon mahasiswa di universitasnya. Wajah kampus dan pendidikan Indonesia pun betul-betul tercederai.
Setelah kasus tersebut, alih-alih terjadi resurjensi moral kampus untuk berbenah, yang terjadi malah berulangnya skandal serupa. Kali ini Rektor Universitas Udayana Bali I Nyoman Gde Antara ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) mahasiswa baru seleksi jalur mandiri tahun akademik 2018–2019 sampai 2022–2023. Kasus yang sudah diselidiki sejak Oktober 2022 itu diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 443,9 miliar.
Jika mau jujur, skandal di atas bak ”gunung es”. Artinya, masih banyak kasus serupa yang lebih dahsyat yang tidak terkuak. Dan itu berarti sudah sekian banyak anggaran pengelolaan pendidikan yang diselewengkan secara rakus. Bahkan, Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2016 menemukan fakta sumber korupsi endemis di universitas, yakni penerimaan mahasiswa baru dan pengelolaan anggaran perguruan tinggi.
Benih Korup
Tampaknya, sumber korupsi tersebut terus dipelihara sampai kini. Ketua KPK Firli Bahuri di Jogjakarta (2022) mengatakan, berdasar data pengaduan masyarakat di KPK, dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan perguruan tinggi antara lain ditemukan pada sektor pengelolaan keuangan, penerimaan mahasiswa, pemilihan rektor, pengadaan yang meliputi fee proyek, dan konflik kepentingan.
Suap dalam pemilihan rektor, misalnya, sudah lama menjadi benih korup di lingkungan kampus. Rektor dipilih tidak hanya berdasar kualifikasi akademik, tapi juga aspek-aspek politik (Darmaningtyas, 2022). Itulah antara lain yang membuat kenapa kampus tak pernah lepas dari jebakan politisasi berbasis parokial atau subjektivisme. Padahal, dalam kondisi di mana nilai-nilai subjektivitas itu dibiarkan tumbuh, peluang munculnya benih korupsi pun akan kian besar (Nugroho & Hanurita, 2005).
Selama ini kampus adalah referensi moral dan pengetahuan dalam kehidupan manusia. Di setiap napas sivitas akademika akan selalu terhubung dengan kebenaran, etika, dan moralitas. Ketika muncul ketidakadilan dan kejahatan di ruang sosial, kampuslah yang dianggap kompeten menunjukkan suluh pemecahan dari ketidakberesan tersebut. Suara kampus adalah representasi dari energi profetik-kebenaran para penghuninya bagi semua sektor kehidupan. Di situlah sesungguhnya spirit kemanusiaan bersemi dan tempat di mana masyarakat menemukan suara kenabian untuk terus berubah sesuai tuntutan zaman.
Namun, manakala oknum pejabat kampus tersandung kasus korupsi miliaran rupiah, seakan runtuhlah tesis tersebut. Kampus yang dianggap sebagai institusi yang memproduksi para orang bijak dan berbudi ternyata tidak seperti yang dibayangkan. Di sana tersimpan sederet persoalan yang membelukar. Dan itu berjudul: integritas. Bungkusan gelar dan pengetahuan akademik yang selalu diumbar-umbar sebagai penanda reputasi seakan hanya kamuflase dan komoditas ekonomi.
Contoh sederhananya adalah bagaimana kampus kini dibiarkan perlahan dalam pusaran materialisme. Pengotak-kotakan kampus dalam kategori yang bias keadilan dan transaksional sudah lama terjadi. Kampus hanya kumpulan mahasiswa orang-orang mampu secara ekonomi, bukan secara intelektual. Sehingga kemudian ada kampus yang ”favorit” dan sebaliknya.
Para siswa dari ekonomi mampu kemudian berlomba-lomba masuk di kampus favorit tersebut dengan menyanggupi membayar berapa saja, dengan harapan bisa menjadi sarjana yang laris di pasar kerja. Di sinilah ruang etis-pendidikan berubah menjadi ruang ”fetish” transaksional bermotif simbiosis mutualisme oleh oknum dosen atau pejabat kampus yang pongah dan serakah.
Aroma marketisasi pendidikan ini pun tanpa disadari melahirkan benih-benih diskriminasi dan stigma yang mengebiri hakikat ”pendidikan untuk semua”. Mereka yang belajar di perguruan tinggi nonfavorit seolah turun kasta. Sedangkan yang bernasib baik kuliah di kampus favorit akan diselebrasi, termasuk oleh masyarakat, sebagai pemilik masa depan. Nalar diskriminatif itu kian tumbuh dalam berbagai kebijakan pendidikan berbasis output materialisme: membekali para lulusan dengan orientasi dan insentif ekonomi.
Kebijakan masuk sekolah pukul 5 pagi (direvisi menjadi pukul 05.30) di Kupang untuk menghasilkan lulusan yang bisa bersaing di perguruan tinggi nasional ternama hingga Harvard University bisa dijelaskan menggunakan nalar disebut. Hal yang sudah pernah diwanti-wanti oleh Paulo Freire (2003:75) di mana iklim pendidikan (masa depan) rentan tersandung nalar pendidikan ala bank (banking of education).
Kampus Diselamatkan
Tenda duka layak didirikan di kampus sebagai peringatan hilangnya integritas lewat kasus korupsi di atas. Bagaimanapun, kampus harus diselamatkan dari ancaman menipisnya aura dirinya sebagai mercusuar intelektual karena kasus-kasus amoral yang diidapnya. Penguatan pendidikan antikorupsi di kampus perlu terus dilakukan. Ini untuk membangun mental, pikiran, dan perilaku antikorupsi sekaligus sebagai bekal bagi mahasiswa untuk memiliki pikiran yang kritis terhadap persoalan-persoalan di luar dirinya, termasuk persoalan yang ada di kampus dan universitasnya (Zulqarnain, 2022).
Pada 23 Februari 2022 KPK sebenarnya sudah meluncurkan aplikasi JAGA Kampus, yang diharapkan bisa menjadi sarana keterbukaan informasi untuk dimanfaatkan para mahasiswa, orang tua siswa, tenaga pengajar, serta masyarakat yang terkait dengan pengelolaan anggaran di kampus. Jika itu terus dijaga dan diefektifkan penggunaannya, kita yakin iklim antikritik oleh pejabat di kampus bisa diruntuhkan perlahan-lahan dan praktik korupsi di dunia kampus bisa dibendung.
Sudah tentu manajemen pendidikan di kampus harus dibenahi secara radikal, termasuk prinsip transparansi dan akuntabilitasnya. Lembaga-lembaga pengawasan seperti satuan pengawasan internal dan pusat kajian antikorupsi di universitas perlu direvitalisasi. Lembaga itu sebagai instrumen pencegahan dan pengawasan birokrasi yang progresif dengan sistem dan penganggaran yang bebas dari konflik kepentingan. Sehingga tidak sekadar menjadi instrumen formalistis dan nihil fungsi. (*)
*) UMBU TW PARIANGU, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang