JawaPos.com–Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Pemkot Surabaya terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2022 dibahas di Komisi D DPRD Surabaya. Satu per satu organisasi perangkat daerah (OPD) diundang komisi untuk mempertanggungjawabkan anggaran yang digunakan.
Wakil Ketua Komisi D Ajeng Wira Wati meminta Dinas Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak, serta Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Surabaya lebih serius. Khususnya, setelah pembahasan perubahan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak.
”Setahun lalu, kasus perlindungan anak yang diberikan Pemkot Surabaya mencapai 142 anak,” ujar Ajeng Wira Wati.
Pada 2022, kelurahan layak anak di Surabaya bertambah. Dari 42 menjadi 95 kelurahan. ”Ke depan harus ditingkatkan lagi. Targetnya untuk mengurangi kekerasan dan kasus anak. Sehingga, Surabaya mejadi benar kota layak anak (KLA) begitu,” tutur Ajeng kepada JawaPos.com.
Pada tahun lalu, program kelurahan layak anak di Surabaya yang dibina digelontor dengan anggaran hingga Rp 558 juta. Tepatnya, Rp 558.575.890.
Ajeng menyebutkan, Pemkot Surabaya diharapkan bisa mengupayakan agar memperbanyak kegiatan Puspaga (puspaga goes to school, puspaga talk show, dan balai RW). Untuk ketahanan keluarga di Surabaya tidak hanya berbasis kuantitas tetapi kualitas.
Menurut Ajeng, keluarga adalah akar pembentuk manusia untuk generasi bangsa. Tahun lalu, anggaran yang fokus untuk program tersebut hingga Rp 535 juta.
Legislator Gerindra itu meminta agar kecamatan reponsif perempuan sejumlah 10 titik menjadi prioritas. ”Saya harap ke depan juga selaras dengan penurunan kasus kekerasan terhadap perempuan dan ditingkatkan pemberdayaan perempuan,” ujar Ajeng Wira Wati.
Anggota Badan Pembentukan Perda DPRD Surabaya itu meminta DP3APPKB bisa lebih bekerja sama dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) untuk meningkatkan pengguna KB.
”Lebih banyak sosialisasi KB, tidak hanya untuk menunda kehamilan tetapi melindungi masa depan keluarga. Beberapa keluarga memiliki anak ketiga atau keempat dari pasangan usia 35 tahun ke atas, ada juga punya anak yang disabilitas disebabkan ketidaksiapan keluarga, faham mengenai pemenuhan gizi ibu hamil hingga menyusui, serta pola asuh adalah sisi saling berkaitan tidak bisa dipisahkan,” papar Ajeng.