Era Reformasi Indonesia dimulai setelah Soeharto meletakkan jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Sebagai upaya pengingat 25 tahun reformasi, para perupa pun menggelar pameran. Apa yang diingat, yang dirasakan, juga pengaruhnya hingga hari ini.

PAMERAN bertajuk Mengingat 25 Tahun Reformasi berlangsung kurang lebih dua bulan (20 Februari–15 April) di lima lokasi. Yakni, Kedai Kebun Forum, Ruang MES 56, LAV Gallery, Cemeti–Institut untuk Seni dan Masyarakat, serta KRACK!.

Dalam pameran itu, dihadirkanlah karya seniman lintas generasi. Yakni, mereka yang lahir sebelum dan sesudah reformasi. Salah satu yang berpartisipasi adalah perupa muda Moch. Krismon Ariwijaya

Krismon merespons, memaknai reformasi dan mewujudkan dalam karya seni tentu tidak mudah. Nama Krismon melekat padanya karena dia lahir saat itu. Tak ada ingatan ataupun merasakan pemerintahan Soeharto yang jadi sasaran reformasi kala itu.

’’Makanya, namaku Krismon sebagai mengingat masa itu kan lagi krismon, apa-apa mahal dan kemudian untuk beli apa pun susah. Kadang aku sendiri menyebut diriku kayak monumen berjalan,’’ kata Krismon pada Rabu (1/3) lalu kepada Jawa Pos Radar Jogja.

Maka, karya Krismon pun lahir lewat meraba-raba masa itu lewat ingatan yang dituturkan ayahnya yang saat itu adalah seorang petani. Dari tuturan ayahnya kemudian disandingkan dengan kondisi petani saat ini.

Krismon mengaku saat berdiskusi dengan sesama rekan seumuran, reformasi identik dengan kericuhan, kegaduhan, dan ketidakadilan. Namun, hal itu berbeda ketika dia bertanya kepada ayahnya.

’’Orang tuaku yang petani, yang merasa bangga dan enak di zaman Soeharto, yang apa-apa murah, pupuk gampang, dan sebagainya. Ibaratnya petani didukung penuh di era Soeharto,’’ tutur Krismon.

Petani Didudukkan sebagai Minoritas adalah judul karya instalasi Krismon dalam pameran itu. Bentuknya tiga kepala burung pipit berbahan besi, tanpa badan dengan telapak kaki manusia berbahan semen. Kehadiran tubuh yang absen, menurut dia, adalah gambaran sesuatu yang luput untuk dibicarakan kembali. Petani seperti diminoritaskan, hilang, dan diabaikan.

MASIH RELEVAN: Instalasi Kematian Reformasi karya Sekolah Musa Kupang di Kedai Kebun Forum, Jogja (23/2). (FOTO: GUNTUR AGA TIRTANA/JAWA POS RADAR JOGJA)

Menurut Krismon, setiap orang boleh memaknai seni secara bebas. Termasuk karya yang dilahirkan. Lulusan seni rupa murni Universitas Negeri Surabaya itu mencoba melihat posisi petani saat ini. Krismon memvisualkan setelah 25 tahun seperti apakah nasib petani saat ini.

Di sisi lain, karya dari perupa-perupa yang mengalami dan bergulat dengan reformasi kala itu seperti Agung Kurniawan, Taring Padi, Popok Tri Wahyudi, dan F.X. Harsono juga hadir. Karya-karya mereka menjadi gambaran dinamika relasi seni dan politik saat itu.

’’Nada’’ karya para seniman yang bergulat di era tersebut hampir serupa. Yakni, memberikan komentar politis. Bahkan, kadang-kadang justru karya mereka terang-terangan menjadi bagian dari kerja advokasi.

Sementara itu, perupa Titarubi dan Dyan Anggraini memaknai politis dengan lingkup di antara ruang publik dan domestik. Yakni, tentang pergolakan dan perjuangan individu-individu yang mesti berhadapan dengan teror, represi, kekerasan, dan bahkan kehilangan nyawa.

Sementara itu, Benny Wicaksono dalam karyanya membaca dampak reformasi melalui pengawasan pemerintah terhadap rakyatnya. Pengawasan dewasa ini dilakukan dengan undang-undang. Salah satunya ialah UU ITE.

MASIH RELEVAN: Instalasi Kematian Reformasi karya Sekolah Musa Kupang di Kedai Kebun Forum, Jogja (23/2). (GUNTUR AGA TIRTANA/JAWA POS RADAR JOGJA)

Kurator Dwiki Nugroho Mukti menyatakan, pameran melibatkan 33 seniman dari beberapa kota di Indonesia. Di antaranya, Aceh, Bali, Jawa Timur, Banyuwangi, dan Kupang.

’’Kami ingin membaca reformasi, tapi tidak dengan mengglorifikasi. Maka dari itu, komposisi seniman dipilih dari berbagai tempat,’’ ujar Dwiki. Selama ini, reformasi, menurut dia, identik dan selalu dikaitkan dengan demonstrasi dan kerusakan.

Melalui pameran tersebut, perspektif lain dari berbagai daerah kemudian dimunculkan. Misalnya saja di Banyuwangi ada pembantaian terhadap dukun dan kemudian direspons melalui penuturan karya seni. ’’Kalau ngomongin reformasi, konteksnya di setiap daerah berbeda,’’ imbuh Dwiki.

Pameran dengan karya seniman yang lintas generasi memang sengaja dimunculkan. Sebab, akan lahir sudut pandang yang lebih beragam. Seniman muda yang bahkan belum lahir saat reformasi meledak justru akan memunculkan sudut pandang yang menarik.

Re-Angling: The Last Brewed Indonesia Coffe (Popok Tri Wahyudi, 1999,70 x 97,3 cm, aklirik di atas kanvas) (FOTO: GUNTUR AGA TIRTANA/JAWA POS RADAR JOGJA)

By admin