JawaPos.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan Ketua Pengurus Yayasan Rumah Sakit (RS) Sandi Karsa Makassar (SKM) Wahyudi Hardi. Ia merupakan tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).
“Terkait kebutuhan dari proses penyidikan, tim penyidik menahan Tersangka WH selama 20 hari pertama, terhitung sejak hari ini, 17 Februari, sampai 8 Maret, di Rutan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jumat (17/2).
Ghufron menjelaskan, Wahyudi Hardi diduga menyuap hakim yustisial MA Edy Wibowo sebesar Rp 3,7 miliar. Uang itu diberikan untuk mengurus kasasi Yayasan Rumah Sakit SKM.
Hal ini setelah adanya gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Negeri Makassar, yang diajukan PT MHJ sebagai pihak pemohon dengan Yayasan Rumah Sakit SKM sebagai termohon. Majelis hakim saat itu memutuskan Yayasan Rumah Sakit SKM pailit
Oleh karena itu, Yayasan Rumah Sakit SKM mengajukan kasasi ke MA dengan salah satu butir permohonannya yaitu meminta agar tidak dinyatakan pailit. Kemudian, pada Agustus 2022, agar kasasi dapat dikabulkan hakim di tingkat MA, Wahyudi Hardi diduga menjalin komunikasi intens dengan Edy Wibowo lewat Muhadjir Habibie dan Albasri, yang merupakan PNS di MA.
“WH berinisiatif sedari awal menyiapkan sejumlah uang dan kemudian melakukan pendekatan serta berkomunikasi intens dengan meminta MH dan AB untuk membantu dan memonitor serta mengawal proses kasasi perkara yang panitera penggantinya adalah EW (Edy Wibowo),” beber Ghufron.
Sebagai tanda kesepakatan, Edy Wibowo diduga menerima uang Rp 3,7 miliar yang diterima melalui Muhadjir dan Albasri. Penyerahan uang dilakukan di Mahkamah Agung ketika proses kasasi masih berlangsung.
“Pemberian sejumlah uang tersebut diduga antara lain untuk mempengaruhi isi putusan,” papar Ghufron.
Setelah uang diberikan, putusan kasasi yang diinginkan Wahyudi Hardi dikabulkan. RS Sandi Karsa Makassar kemudian tidak dinyatakan pailit.
Wahyudi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.