Ketegangan kawasan Eropa Timur menambah tekanan sentimen negatif bagi pasar bursa. Padahal, bayang-bayang pandemi Covid-19 juga belum usai. Bagaimana proyeksi pertumbuhan saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI)?

KETAKUTAN terkait pasar saham yang lesu tahun ini memang tak bisa ditampik. Krisis demi krisis terus terjadi tahun ini. Yang terbaru adalah invasi Rusia terhadap Ukraina yang membuat eskalasi ketegangan global meningkat.

Meski demikian, CEO Vier Corp Vier Abdul Jamal bin Abdullah mengaku masih percaya diri untuk bursa efek di tanah air. Kepercayaan itu bukan tanpa alasan. Menurut dia, nafsu investor masih tinggi untuk menanamkan modal pada emiten-emiten Indonesia.

’’Minat investor asing juga masih tinggi,’’ katanya kepada Jawa Pos saat Coaching and Mentoring Pasar Modal di Surabaya Selasa (1/3).

Sejak anjlok pada Maret 2020, pasar modal sudah 100 persen pulih. Dari nilai IHSG (indeks harga saham gabungan) BEI yang turun hingga 4.194, akhir pekan ini sudah ditutup di level 6.925. Angka itu sudah menembus angka tertinggi selama lima tahun terakhir. Mengalahkan rekor pada 2018 dan 2019 yang notabene masa sebelum krisis Covid-19.

Pria yang sedang melatih 2 ribu trader tersebut memproyeksikan level IHSG bisa tembus 7 ribu poin pada tahun ini. Angka yang belum ditembus selama lima tahun. ’’Bahkan, saya masih percaya IHSG bakal mencapai level 8.200,’’ ujarnya.

Dia menjelaskan, meski krisis di Ukraina cukup berdampak di level global, efek yang ditimbulkan di Indonesia tak terlalu besar. Apalagi, Indonesia tak punya kedekatan politik yang erat dengan kedua pihak.

Memang, negara Eropa Timur punya beberapa peran terhadap ekonomi tanah air. Misalnya, pasokan gandum Ukraina yang menyerap 23,51 persen dari total kebutuhan nasional. Atau, bahan baku pupuk yang menjadi andalan industri agrobisnis di tanah air. ’’Namanya bursa, pasti akan ada yang naik dan turun. Tugas kita adalah memprediksi dan bertindak sesuai dengan analisis,’’ katanya.

Sebagai trader, dia percaya bahwa bakal ada beberapa emiten yang meroket. Misalnya, produsen komoditas. Dengan adanya perang yang mengganggu suplai global, harga komoditas diperkirakan meningkat.

Vier juga menyarankan pelaku bursa memantau saham-saham emiten top yang harganya jatuh. Menurut dia, hal itu justru menjadi kesempatan memborong saham. ’’Contohnya, saham Antam yang turun dari angka Rp 1.000 menjadi Rp 400 saja. Saat itu pemain yang pintar langsung borong dan sekarang sahamnya sudah mencapai angka Rp 2.450,’’ tegasnya.

Vier menambahkan, kondisi saat ini tidak berarti investor saham main nekat. Menurut dia, banyak orang yang mengeluhkan rugi karena terlalu nekat. Mereka mengincar kenaikan saham hingga puluhan persen. Namun, yang terjadi justru sahamnya jatuh.

Trader seharusnya hanya bermain dengan mengincar untuk 1 persen per sesi. Dengan begitu, mereka bakal puas jika mendapatkan keuntungan yang lebih. ’’Kalau ada yang bilang trading satu bulan bisa dapat mobil, itu sangat menyesatkan. Bermain saham itu harus bijak dan pintar kalau tak mau merugi,’’ tegasnya.

Senada dengan Vier, CEO Fingram Ian Renassa mengatakan, pasar saham masih seksi. Perencana keuangan tersebut mengatakan bisa jadi beberapa emiten sedang berada di harga diskon. Hal itu menjadi momen bagus untuk beli, terutama bagi investor.

Tahun ini faktor Covid-19 varian Omicron dan invasi Rusia ke Ukraina menjadi katalis negatif dalam pertumbuhan ekonomi. Yang mengakibatkan sebagian investor bakal lebih memilih instrumen investasi yang lebih aman seperti emas, deposito, atau obligasi jangka pendek. Nah, keluarnya uang dari pasar saham otomatis bakal memangkas harga saham di bursa.

’’Saran saya, tetap rajin melihat laporan keuangan perusahaan dan kebijakan pemerintah. Amannya pilih yang punya potensi berkembang seperti emiten pertambangan atau produsen sawit. Kalau melihat saham bagus yang sedang diskon, segera saja dibeli,’’ paparnya.

By admin