JawaPos.com – Jalanan Kota Bangkok, Thailand, penuh asap pada Sabtu (7/8). Itu adalah gas air mata yang ditembakkan petugas kepolisian untuk membubarkan massa yang berunjuk rasa. Ada lebih dari seribu demonstran anti pemerintah yang memprotes penanganan pandemi Covid-19 di negara tersebut.
’’Kami tidak punya pekerjaan dan penghasilan. Jadi, tidak ada pilihan selain memprotes,’’ ujar Aom, salah seorang demonstran, seperti dikutip The Guardian.
Thailand selama ini bergantung pada sektor pariwisata. Pemulihan ekonomi yang lambat, lockdown, dan karut-marut pemerintahan membuat penduduk frustrasi. Program vaksinasi Covid-19 di negara tersebut juga tidak sesuai harapan. Saat ini baru 6 persen dari 66 juta populasi penduduk yang sudah divaksin lengkap. Selain itu, penduduk ingin agar pemerintah mulai menggunakan vaksin mRNA seperti Pfizer-BioNTech dan Moderna, bukannya Sinovac buatan Tiongkok.
’’Saya khawatir, tapi harus terus berjuang meski ada ledakan penularan Covid-19,’’ terang Nat, demonstran 27 tahun yang diwawancarai Agence France-Presse. Mayoritas demonstran tak mau memberi nama lengkap karena takut ditangkap aparat.
Bersamaan dengan momen aksi, Thailand mencatat rekor hampir 22 ribu kasus penularan baru dan 212 kematian. Total, 736.522 kasus dan 6.066 kematian akibat Covid-19 di Thailand.
Massa merasa bahwa penggunaan gas air mata, water cannon, dan peluru karet tidak diperlukan. Sebab, mereka melakukan aksi damai. Kericuhan terjadi karena polisi menyerang lebih dulu. Namun versi polisi, mereka terpaksa menggunakan dua alat tersebut guna membubarkan massa. Saat ini mayoritas kota besar di Thailand menerapkan lockdown dan jam malam, termasuk Bangkok.
Massa awalnya berjalan ke kantor Perdana Menteri (PM) Prayuth Chan-o-cha. Namun, polisi menutup jalan di dekat Monumen Kemenangan atau Anusawari Chai Samoraphum dengan menggunakan kontainer. Begitu massa mendekat, gas air mata ditembakkan.
’’Gas air mata dan peluru karet digunakan untuk pengendalian massa. Tujuan kami adalah menjaga ketertiban,’’ ujar Juru Bicara Kepolisian Krisana Pattanacharoen. Aksi demo tersebut dilaporkan melukai 2 warga sipil dan 3 petugas kepolisian.
Demo dengan massa yang lebih sedikit juga dilakukan di Narathiwat. Mereka memilih mengendarai sepeda motor sambil membawa tulisan berisi tuntutan kepada pemerintah. Salah satu yang tetap digaungkan demonstran dalam setiap aksi adalah permintaan agar Prayuth mengundurkan diri dan perubahan pada sistem monarki.
Aksi serupa terjadi di Paris, Prancis, pada hari yang sama. Ribuan pengunjuk rasa menolak kebijakan kartu kesehatan alias pass sanitaire yang diterapkan pemerintah. Mereka yang sudah divaksin penuh bisa memasuki beberapa area publik dengan kartu itu. Mereka yang belum divaksin tidak boleh. Sabtu lalu adalah aksi yang keempat dari massa antivaksin. Massa menyamakan Presiden Emmanuel Macron dengan Adolf Hitler karena memaksakan kebijakannya kepada penduduk.
’’Prinsip kebebasan dan kesetaraan (di Prancis, Red) adalah hal yang suci,’’ ujar politikus dari Rassemblement National Julien Odoul. Moto nasional Prancis adalah liberte, egalite, fraternite alias kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan.
Di sisi lain, Macron mengingatkan penduduk agar ingat pada moto ketiga. Kebebasan hanya ada jika kebebasan setiap orang dilindungi. Tidak ada artinya jika kebebasan seseorang justru menyulitkan kebebasan orang lain. Misalnya, saudara, tetangga, teman, orang tua, dan yang lainnya. Itu adalah kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Dia meminta agar penduduk menerima kebijakan yang ada dan segera mendaftar untuk divaksin.
Kartu kesehatan itu tidak hanya diterapkan di Prancis. Banyak negara yang mulai mengadopsi kebijakan tersebut. Di Eropa, sejak Maret lalu Denmark, Austria, dan Hungaria sudah menerapkannya. Baik dalam bentuk kertas maupun digital. Uni Eropa juga punya kartu sendiri yang memiliki kode QR.
Penduduk Portugal, Luksemburg, dan Irlandia harus menyerahkan kartu vaksin untuk bisa tinggal di hotel, makan di restoran, dan berbelanja. Di AS, kartu serupa hanya berlaku di New York. Ia secara resmi akan berlaku nasional pada 16 Agustus.