JawaPos.com- Nakhoda Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah Kabupaten Sidoarjo berganti. Melalui Musyawarah Daerah (Musda) XI di kampus Umsida kemarin (5/3), Prof A. Dzoul Milal terpilih menggantikan Zainul Muslimin. Guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) itu akan memimpin hingga 2027 mendatang.
Sejatinya, dari hasil pemungutan suara peserta, perolehan suara Prof Dzoul Milal berada di urutan kedua. Pria kelahiran Tanggulangin itu mendapat 304 suara. Adapun tertinggi adalah Burhanuddin (356 suara). Namun, dari musyawarah 11 anggota PDM Sidoarjo terpilih, mereka menyepakati agar Prof Dzoul yang memegang amanah sebagai ketuanya.
Prof Dzoul adalah guru besar di Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Sastra dan Humaniora UINSA. Dia meraih gelar S-1 dari Universitas Muhammadiyah Surabaya. Lalu, pendidik kelahiran 1960 itu menempuh S-2 dan S-3 di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Program Pascasarjana Unesa.
‘’Musyawarah berjalan dengan sangat baik. Semua anggota formatur sudah diberi kesempatan untuk berbicara dan menyatakan pendapat, dan memutuskan ketua PDM Sidoarjo periode 2022-2027 adalah Prof Dzoul Milal,’’ kata Ketua Panitia Pemilihan (Panlih) Imam Makhfudzi seperti dilansir pwmu.co.
Dari data yang dikumpulkan Jawa Pos, di banyak musyda PD Muhammadiyah, biasanya peraih suara terbanyak yang ditetapkan menjadi ketua. Termasuk musya di Surabaya maupun Gresik beberapa waktu lalu. Namun, keputusan tertinggi tetap mengacu hasil rapat formatur atau nama-nama yang dipilih oleh peserta musyda. Jadi, peraih suara terbanyak tidak otomatis jadi ketuanya.
Selain A. Dzoul Milal dan Burhanuddin, 11 nama terpilih sebagai pengurus PDM Sidoarjo adalah Arif Hidayat (223 suara), Ikhsan (285 suara), Imam Makhfudzi (295 suara), Misbach (252 suara), Nyong Eka Teguh (210 suara), Pancanto Kuat Prabowo (266 suara), Taufik Churahman (197 suara), Utomo Satmo (229 suara) dan Zainuddin Mz (254 suara). Sebagian besar mereka adalah wajah-wajah baru.
Sebelumnya, pelaksanaan Musyda tersebut dibuka Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali. Yang menark, bupati alumnus Unair itu juga tampak mengenakan batik hitam berlogo Muhammadiyah. Dia berterima kasih kepada panitia yang sudah mengundangnya. ’’Termasuk memberi baju yang indah bagi kami,” katanya dengan menunjuk baju yang dikenakannya.
Gus Muhdlor, sapaan akrabnya, juga berkelakar dengan nada humor. ’’Teman-teman NU (Nahdlatul Ulama) dan lainnya, jangan pernah tersinggung, bupatinya kok pakai baju Muhammadiyah?’’ ungkapnya.
’’Engko ono sing lapor Abah. Kiai anak sampeyan dadi Muhammadiyah. Wah kacau nanti,” lanjutnya yang langsung disambut gerr ribuan peserta yang hadir.
Menurut Gus Muhdlor, dalam setiap kesempatan dirinya sudah sering menyampaikan bahwa seorang bupati tentu bukan hanya menjadi bupati satu organisasi tertentu. Partai tertentu atau agama tertentu. ‘’Tapi, menjadi bupati untuk semua warga Sidoarjo. Semuanya layak mendapatkan perhatian yang harus adil. Adil tidak harus sama, adil tidak harus setara. Adil itu sesuai porsinya masing-masing,” ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Gus Muhdlor menyatakan, satu cita-citanya adalah membangun Sidoarjo dengan politik partisipatif. Dia pun menyinggung pelaksanaan kegiatan resepsi puncak Satu Abad NU di Sidoarjo pada 7 Februari lalu. Begitu terasa harmoni, walaupun ada perbedaan. Nah, Muhammadiyah termasuk salah satu yang memiliki kontribusi besar atas kesuksesan acara tersebut.
‘’Ada Kristen, Hindu, LDII, dan lainnya. Indah sekali. Semua memahami kegiatan itu bukan hajatnya NU saja. Melainkan juga hajatnya Sidoarjo, yang harus menjadi tuan rumah yang baik. Sebab, salah satu ciri penghuni surga adalah memuliakan tamu, memuliakan tetangga,’’ tegasnya.
Dia pun meyakini, kalau politik partisipatif berjalan dengan baik, maka kemajuan Sidoarjo akan menjadi lebih cepat terwujud.