Lalu ia, laki-laki 38 tahun bernama Jam itu, naik ke atas panggung rendah tempat para ustad, pak lurah, ketua RT, dan tokoh masyarakat Kelurahan Moneng Sepati duduk bersila mengisi bagian tepinya. Seperti sudah tahu –dan juga sudah disiapkan oleh penyelenggara, Jam duduk di tengah-tengah sehingga ia bukan hanya menjadi pusat perhatian mereka yang berada di panggung, tapi juga ratusan masyarakat yang duduk di bawah.

SEBUAH pelantang suara bertiang rendah dibawa seseorang ke hadapannya, di dekat bantal yang dilapisi sajadah, dua puluh sentimeter dari muka Jam. Ketika ia sedang mengatur posisi pelantang suara agar sejajar dengan mulut (katakanlah jaraknya cuma sejengkal), seorang lain meletakkan sebuah kitab di atas bantal bersarung sajadah itu.

Setelah semuanya siap, Jam memandang segenap hadirin di hadapan. Tatapan ketiga adik laki-lakinya yang berdiri di bagian belakang tenda (Jam tahu mereka sibuk sekali mempersiapkan urusan malam ini) seperti berbunyi: ”Ayo mulai, Jam. Siapa tahu mak senang di sana!”

Det (37), Min (36), dan Per (34) memang tak pernah menganggap kegilaan sepanjang hidup Jam sebagai kejutan, seakan-akan stempel berandal yang malang melekat abadi di keningnya, lalu tintanya menyebar hingga sekujur kehidupannya.

”Kamu dilarang Kiai Guntur azan lagi, Jam,” kata Det dua puluh delapan tahun yang lalu ketika mereka masih belajar ngaji bersama di masjid kampung.

”Kenapa?” Tentu saja Jam heran. ”Mak memuji azanku sebagai azan terbaik di dunia.” Belum sempat adik pertamanya itu menjawab, Jam melanjutkan, ”Tetangga yang lain juga bilang begitu. O ya, Kiai Guntur juga bilang begitu.”

”Iya,” Min menahan tawa. ”Tapi begitu kiai tahu kalau kau nggak ikut salat, ia marah. Ia, sebagaimana kami semua, tak habis pikir, bagaimana kamu azan tapi nggak salat.”

”Dan mak atau tetangga tak tahu tentang itu,” timpal Per.

”Apalagi bapak yang nggak pernah balik,” kata Jam bagai menantang.

”Bapak nyopir.”

”Bapak cari uang.”

”Bapak kepala keluarga.”

”Bapak-bapak teman kita nggak kayak bapak!” Meskipun masih kecil, status anak sulung membuat Jam bersikeras. ”Tiap pulang mukulin mak dan membentak kita-kita!”

”Yang jelas, kiai marah sama Kakak,” Min mengembalikan topik percakapan.

Sejak itu Jam tak lagi azan. Tapi ia masih menjadi murid ngaji terbaik Kiai Guntur. Karena si kiai mengancam tak akan mengirimnya ke MTQ tingkat kecamatan, Jam remaja pun rajin salat dan selalu bilang kalau Senin dan Kamis ia selalu puasa. Jam juara dua. Ia makin semangat ketika tahu hadiahnya lumayan: radio. Jam ikut tingkat provinsi dan kembali masuk tiga besar, tapi kali itu ia kecewa karena sepeda motor yang dijanjikan sebagai hadiah tak kunjung ia terima. Dua bulan kemudian ia dipenjara satu malam karena menganiaya petugas kecamatan yang menahan hadiahnya. ”Kalau saja kamu sudah cukup umur, hukumanmu nggak main-main,” kata si korban. Jam malah tersenyum seperti merayakan status anak di bawah umur yang akan segera dikeluarkan dari jeruji.

Di SMA, Jam terkenal suka membolos sekaligus memaksa siswa laki-laki lainnya untuk mengikutinya. Meski begitu, ia masih mengaji. Masih pandai mengaji. Bahkan kiai memintanya membantu mengajar anak-anak kampung yang baru belajar mengaji. ”Ambil ilmu mengaji dari Jam. Jangan ikuti perangainya.” Selalu begitu Kiai Guntur memperkenalkan Jam kepada murid-murid baru. Biasanya, kalau sudah begitu, Jam dan murid-murid baru itu cengengesan.

Setamat SMA, Kiai Guntur meninggal. Ibunya depresi karena suaminya, seorang sopir truk antarprovinsi yang jarang pulang, di hari terakhirnya hidup di bumi, dilayat oleh empat perempuan paro baya dari empat daerah yang berbeda yang mengaku sebagai istri sirinya.

Setelahnya, sebagai satu-satunya anak yang tinggal dengan sang ibu, Jam malah diserahi tanggung jawab mengurusi sang ibu. Kuliahnya berantakan. Putus di tengah jalan. Pertemuannya dengan orang-orang yang siap mendengar ceritanya seperti malaikat baru dalam hidupnya. Absennya kasih sayang ayah, ketiga kakak laki-laki yang sibuk dengan keluarga yang keadaannya jauh dari mapan secara ekonomi membuatnya lebih banyak diabaikan, sementara sang ibu yang ”berharap” lebih pada berandalan seperti Jam menghadirkan lanskap yang ganjil: seperti induk ayam berkaki satu sedang mengiba kepada anaknya yang selalu kelaparan.

Malaikat-malaikat tanpa sayap yang sudah lama menunggu momentum pun merangkul Jam lewat minuman keras dan berbagai pil yang membuat Jam ngakak lama sekali. ”Lha, kalau semudah ini jalan menikmati surga, kenapa harus ada kitab suci?!” Lalu para malaikat pun ikut tertawa.

Rumah yang Jam tempati dengan sang ibu pun dijual. Ketiga kakaknya menuntut bagian mereka, tapi Jam bergeming. ”Sebagai berandal, hanya membunuh yang belum aku lakukan,” ancamnya.

Tak lama, ibunya diambil alih dinas sosial. Kebun-kebun karet mereka juga lepas. Jam menggelandang, mencuri, dan memalak. Setelah beberapa bulan menghilang, kabar burung mengantar kabar bahwa ia sudah menjadi bagian dari kawanan pembegal di Rejang Lebong. Jam memang hanya bagian dari komplotan, bukan pemimpin, bukan pula orang berpengaruh, tapi tiap mendatangi kakak-kakaknya, ia adalah hantu yang tak takut sinar matahari. Selalu saja keadaan berubah mencekam. Jam tak pernah diizinkan masuk, dijamu dengan secangkir teh atau stoples kue, apalagi ditawari nginap barang semalam oleh saudara-saudaranya. Mereka akan memberi uang berapa sekadarnya dan menutup pintu. Bagai tahu diri, Jam balik badan, entah ke mana.

Setelah hampir enam tahun menghilang, Jam muncul lagi pada suatu pagi di pemakaman umum Moneng Sepati, satu jam setelah sang ibu dikebumikan. Ia tak menangis. Ia hanya mengusap nisan beberapa kali lalu menengadahkan tangan ke langit, bagai merapal mantra paling khusyuk seumur hidupnya lama, lama, lamaaa sekali.

Jelang magrib, ia menemui ketiga adiknya yang sedang berembuk di kediaman si bungsu, membicarakan biaya yasinan malam ini yang akan mereka tanggung bersama. ”Aku tak mau tahu,” kata Jam setelah salamnya dibalas dengan ekspresi melongo tak percaya oleh kakak-kakaknya. ”Aku yang mengaji, aku yang memimpin yasinan, dan aku yang memimpin doa malam ini.”

Hening.

”Kalau saja aku tidak telat, harusnya aku yang mengimami salat Jenazah siang tadi.”

Masih hening.

”Heran aku, mak kandung yang mati, malah Kiai Alim yang imam. Ngapain saja kalian selama hidup sampai-sampai nggak bisa ngimami salat Jenazah, hah?”

”Diam kamu, Jam!” pekik Det.

”Kamu yang nggak tahu malu,” timpal Min.

”Bandit kok pede-pedenya ngaji depan orang banyak!” Per memungkasi semuanya.

Jam nyengir. ”Lha apa bedanya aku sama polisi dan direktur perusahaan yang berpendidikan tapi membunuh dan menyebabkan banyak orang menderita?” suaranya meninggi. ”Apa bedanya aku sama pimpinan pesantren yang ternyata mencabuli santrinya? Apa bedanya aku sama para koruptor yang tutur katanya sopan dan membuat banyak orang simpati? Apa bedanya, hah?” Kini suaranya pecah dan memarau. ”Jangan-jangan aku lebih baik dari mereka, apalagi dari kalian, hah?!”

Semua bagai membeku.

Orang-orang kampung yang membantu mempersiapkan yasinan malam ini, yang sedari tadi menyaksikan perseteruan itu, membubarkan diri seakan-akan tidak terjadi apa-apa begitu Jam mengedarkan pandangan.

Malam itu, langit cerah secerah-cerahnya. Angin semilir melenakan segenap makhluknya. Jangkrik dan binatang malam lainnya sengaja tutup mulut, seakan-akan memberikan waktu dan tempat untuk seorang laki-laki yang ditimbuni perasaan bersalah sebersalah-salahnya.

Jam membaca Arrahman dengan tersedu sedan; memimpin yasinan dengan begitu mengalun sehingga lidah mereka yang hadir, tanpa sadar, mengikuti bacaannya tanpa jeda; hingga ia kemudian mengakhiri pembacaan doa dengan mengiba, seakan-akan bukan sedang mengirimkan pengharapan atas arwah sang ibu, melainkan untuk dirinya sendiri dan hidup yang tak pernah ia lihat di mana adilnya. (*)

BENNY ARNAS, Penulis asal Lubuklinggau

By admin