Akhir 2022 lalu, biduan dangdut ambyar terpopuler, Denny Caknan, diundang Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Di kantornya, Prabowo memuji lagu-lagu biduan asal Ngawi tersebut. Prabowo turut bercerita untuk membuat kedai kopi suatu saat nanti. Sontak Denny menawarkan diri sebagai brand ambassador. Perbincangan diakhiri dengan foto bersama dan diunggah keduanya di Instagram.
HAL tersebut tampak biasa saja, tetapi mendekati tahun politik 2024, perjumpaan tersebut rasanya tak biasa. Dari rencana menjadi brand ambassador, besar kemungkinan Denny justru menjadi salah satu juru kampanye calon presiden 2024 untuk Prabowo Subianto dari Partai Gerindra.
Bukan hanya sang biduan muda, legenda dangdut Rhoma Irama juga besar kemungkinan merapat ke barisan jika Sandiaga S. Uno masih bertahan di Partai Gerindra. Sandiaga dan Rhoma memiliki relasi yang erat, mulai Pemilu Gubernur DKI Jakarta 2017, Pemilu Presiden 2019, hingga saat Sandiaga menjadi bagian dari pemerintah. Singkat kata, besar kemungkinan Rhoma Irama akan berada di sisi Sandiaga. Namun, hal itu akan berbeda cerita jika Sandiaga berlabuh ke partai lain.
Sementara biduan lainnya, Happy Asmara, Yeni Inka, Ndarboy Genk, maupun yang tenar beberapa tahun sebelumnya, Via Vallen dan Nella Kharisma, juga besar kemungkinan memeriahkan kampanye partai-partai yang kelak bertarung pada Pemilu 2024. Bukan hanya mereka, tahun ini agaknya akan membuat biduan-biduan dangdut senior hingga junior serta pusat hingga daerah menjadi sibuk. Pasalnya, Pemilu 2024 bukan hanya pemilihan presiden dan wakilnya, melainkan juga pemilihan anggota DPR, DPRD, dan DPD. Alhasil, akan banyak kandidat yang membutuhkan ruang menyosialisasikan programnya, dan hal itu menjadi alasan mengapa pentas dangdut akan ramai tahun ini hingga mendatang.
Apa Peran Dangdut?
Tak dapat ditampik bahwa tujuan kandidat atau partai tertentu menyelenggarakan dangdut adalah kemenangan. Namun, menyelenggarakan dangdut pada pemilu bukan laiknya matematika yang jika dijumlahkan menghasilkan angka pasti. Pasalnya, tiada jaminan memenangi pemilu dengan hanya mengandalkan dangdut semata. Sejarah pemilu di Indonesia juga menunjukkan bagaimana dangdut tak secara otomatis menjamin partai yang didukungnya. Misalnya, pada Pemilu 1977, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang didukung raja dangdut Rhoma Irama justru menelan kekalahan dari partai dominan, Golongan Karya (Golkar). Empat puluh dua tahun setelahnya, Rhoma juga tidak berhasil membuat Partai Gerindra memenangi Pemilu Presiden 2019.
Setahun sebelumnya, dua biduanita dangdut koplo yang paling bersinar di tahun 2010-an, Via Vallen dan Nella Kharisma, juga terlibat meramaikan kampanye pada Pemilu 2018. Dua biduanita tersebut digandeng kandidat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Saifullah Yusuf alias Gus Ipul, untuk pemilu gubernur Jawa Timur. Pada kesempatan itu, Via dan Nella bahkan menyanyikan jingle Kabeh Sedulur untuk pasangan tersebut. Namun, padanan dua biduanita dangdut terpopuler tidak cukup membuat Gus Ipul dan Puti mengamankan kursi gubernur Jawa Timur. Pun masih banyak nama biduan dangdut lainnya dalam perjalanan kampanye pemilu di Indonesia, dan menang memang bukan jaminan.
Tiada lain, salah satu alasan mengapa dangdut digelar pada kampanye adalah kekuatannya dalam mengumpulkan massa. Dangdut menjadi magnet yang efektif untuk para kandidat pemilu bertemu dan berbicara kepada publik luas. Hal ini kiranya ditunjukkan Rhoma Irama pada Pemilu 1977. Kendati kalah suara, Rhoma telah menunaikan tugasnya dalam mengumpulkan massa. Ia berhasil memberikan ruang kepada PPP untuk menyosialisasikan programnya ke masyarakat dalam pelbagai kampanye. Hasilnya, PPP berhasil memenangi suara di DKI Jakarta. Ini tentu sebuah capaian, di mana PPP justru mencuri suara di mana pusat pemerintahan (baca: Golkar) berlangsung.
Salah satu keberhasilan Rhoma lainnya dalam memanfaatkan kampanye adalah pada Pemilu 1997. Pada tahun itu, Rhoma telah berpindah haluan ke partai dominan, Golkar. Tak hanya jadi juru kampanye, bahkan Rhoma didaftarkan sebagai calon anggota legislatif dan berhasil membuat dirinya menjadi anggota DPR dari partai pohon beringin tersebut. Hal ini tentu menunjukkan bagaimana kekuatan Rhoma dalam mengumpulkan massa dan intervensinya pada dunia politik. Rhoma Irama tentu tidak sendiri. Masih banyak potret biduan dangdut lainnya yang berhasil berkontribusi dalam mengumpulkan massa, bahkan memenangi pemilu.
Namun patut diingat, dangdut bukan satu-satunya variabel dalam memenangi pemilu. Terdapat variabel lainnya, misalnya keaktifan kandidat, peran partai, program yang ditawarkan, hingga kontribusi sang biduan pada saat kampanye. Soal menang atau kalah, tentu tak jadi soal. Karena sebagai sarana mengumpulkan massa, dangdut telah tuntas akan tugasnya.
Masih Ampuhkah Dangdut?
Alasan mengapa dangdut dapat mengumpulkan massa adalah karena popularitasnya yang hidup bersama masyarakat. Massa dapat terkumpul tentu karena popularitas biduan dan citra yang dikonsumsi publik. Karena eratnya dengan masyarakat dari waktu ke waktu, menggelar dangdut tanpa biduan kondang pun tetap akan mendatangkan massa. Keterjalinan ini tentu menjadi kekuatan dangdut yang tak dapat dianggap sepele. Jika dapat diibaratkan, kampanye tanpa dangdut laiknya sayur tanpa garam. Namun, apakah hal ini masih terjadi hingga hari ini?
Untuk Pemilu 2024 mendatang, dangdut justru memiliki peluang yang besar. Para biduan muda dangdut berhasil membuat dangdut tetap relevan dengan zaman. Sepak terjang Denny Caknan, Ndarboy Genk, Happy Asmara, Yeni Inka, Guyon Waton, dan biduan serta grup muda lainnya di YouTube, TikTok, ataupun pertunjukan langsung sudah cukup menunjukkan bagaimana popularitas dangdut di masa kini. Jadi, jangan kaget jika terpampang wajah mereka pada spanduk kampanye partai tertentu di saat mendatang. Karena yang perlu disiapkan hanya telinga untuk mendengar janji demi janji, dan bergoyang karena lazimnya janji tinggallah janji. (*)
—
MICHAEL H.B. RADITYA, Peneliti, penulis, pendiri dangdutstudies.com