PUTUSAN kontroversial majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tak hanya melebihi kewenangan, salah, dan melanggar konstitusi. Tapi, kata Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yance Arizona, juga berpotensi memicu krisis politik.
Bagaimana Anda memandang putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat yang diketuai T. Oyong terhadap gugatan Partai Prima?.
Penyelesaian perkara pemilu, semua sudah memahaminya. Ada jalurnya, dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), hingga puncaknya di Mahkamah Konstitusi. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) tidak memiliki kewenangan itu.
Lalu, apa yang menjadi dasar hakim memutuskan penundaan pemilu?
Tidak ada. Semua ini hanya memperkuat kecurigaan publik terhadap isu penundaan pemilu yang diembuskan beberapa waktu lalu. Ada benang merah antara isu penundaan pemilu dan vonis PN Jakpus tersebut. Orang berpikir, ada kehendak pemerintah dalam putusan ini. Pantaslah bila Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) memanggil untuk memeriksa hakim.
Bukankah Presiden Jokowi sudah menolak tiga periode, bahkan memerintahkan menteri-menteri tidak memperpanjang isu tiga periode?
Memang pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi, telah memerintahkan hal itu. Tapi, isu itu terus berkembang seakan dibiarkan. Menteri-menteri bahkan beralibi siapa saja boleh mewacanakannya. Tapi, yang paling meyakinkan (terhadap kecurigaan isu tiga periode) itu ada pada sikap pemerintah dalam anggaran pemilu yang ambigu.
Maksudnya, pemerintah ambigu dalam anggaran pemilu?
Akhir bulan lalu, saya masih mendapat informasi persoalan pengajuan anggaran Bawaslu dan penyelenggara pemilu lain. Anggaran pemilu yang sudah dekat masih dalam pembahasan. Kita tidak mengetahui apa sudah disetujui atau belum. Yang terlihat, pemerintah belum serius dalam konteks penganggaran penyelenggaraan Pemilu 2024. Ingat, tidak lebih dari satu tahun lagi lho pencoblosannya.
Kalau pemerintah mengikuti vonis PN Jakpus, bagaimana kelanjutannya?
Sebentar. Sebenarnya, berkembangnya isu penundaan pemilu atau presiden tiga periode ini merupakan potensi pelanggaran hukum serius. Bila dibandingkan, sama halnya dengan wacana percepatan pemberhentian atau pelengseran Presiden Jokowi. Sebanding bukan? Sama-sama mengganggu stabilitas. Saat wacana percepatan pemberhentian presiden ini, pemerintah menunjukkan ketegasannya. Nah, ketegasan dan komitmen pemerintah dalam wacana penundaan pemilu atau presiden tiga periode juga dibutuhkan. Menko Polhukam Mahfud MD memang sudah menolak. Tapi, bagaimana dengan Presiden Jokowi? Sepertinya belum berkomentar soal putusan ini.
Jadi, sebenarnya menggelontorkan isu penundaan pemilu ini melanggar hukum tidak?
Antara hukum pidana dan hukum tata negara itu berbeda. Hukum pidana, sebelum dilarang boleh dilakukan. Hukum tata negara, selama belum diatur dilarang dilakukan. Jadi melanggar hukum tata negara alias inkonstitusional. Misalnya, kalau diatur presiden hanya dua periode, tidak boleh tiga periode. Contoh lainnya, hanya WNI syarat dipilih menjadi presiden. Berarti WNA dilarang mencalonkan presiden. Yang pasti, isu penundaan pemilu ini mewacanakan pelanggaran konstitusi.
Apakah vonis PN ini bisa menjadi alat transaksi untuk kepentingan Pilpres 2024?
Bisa saja. Memang hingga saat ini tidak bisa kita pastikan, apakah pemilu ini jadi 2024 atau tidak. Kita, masyarakat Indonesia, bisa melihat bahwa ini bukan sebuah kebetulan belaka. Tidak bisa diungkapkan secara eksplisit siapa aktornya. Jelas ada invisible hand hingga saat ini. Mungkin ada putusan politik yang diinginkan. Ini jelas sangat bisa menjadi bagian dalam negosiasi.
Bagaimana bila pemerintah memutuskan penundaan pemilu?
Ini akan menjelma menjadi krisis politik. Dalam hukum tata negara telah diatur presiden Indonesia harus diganti pada 2024. Kita tidak punya ketentuan kalau pemilu ditunda atau dilakukan setelah 2024. Apakah presiden diperpanjang, apakah ditunjuk Plt presiden, tidak ada jalan keluar dari krisis politik ini. Tunjuk MPR juga tidak ada. Ancaman potensi krisis politik ini nyata.