KASUS bullying atau perundungan terhadap anak-anak di lingkungan sekolah sebetulnya bukan hal baru. Pelbagai upaya selama ini telah dilakukan untuk mencegah agar anak tidak menjadi korban tindak perundungan. Namun, entah apakah karena sudah menjadi subkultur di kalangan anak-anak, tindak perundungan selalu terjadi dari waktu ke waktu.
Salah satu kasus perundungan terhadap siswa yang menyesakkan hati terjadi di Banyuwangi. Sebagaimana yang diberitakan Jawa Pos pada 1 Maret 2023, seorang siswa kelas IV SD ditemukan ibunya tewas gantung diri di dapur rumah. Bocah malang ini memilih mengakhiri hidupnya karena tidak kuat menahan malu dan sedih karena sering di-bully teman-temannya.
Kasus bunuh diri karena di-bully tidak hanya terjadi di Banyuwangi. Sebelumnya, di Tasikmalaya seorang bocah juga dilaporkan meninggal dunia akibat depresi setelah dirundung teman-temannya. Bocah 11 tahun itu depresi lantaran dipaksa menyetubuhi kucing oleh teman sebayanya. Korban yang tak kuat menanggung malu dan ketakutan karena diancam teman-temannya akhirnya depresi. Korban benar-benar mengalami luka psikologis yang mendalam. Hingga akhirnya, nyawa bocah laki-laki itu tidak tertolong meski telah dibawa ke rumah sakit umum daerah setempat. Dia meninggal dunia pada Minggu, 17 Juli 2022.
Tindak Perundungan
Tindak perundungan terhadap siswa sesungguhnya adalah salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak. Tindak kekerasan yang dialami anak-anak bukan hanya pemukulan atau penyerangan secara fisik, tetapi juga bisa berupa kekerasan psikologis. Tindak perundungan termasuk kekerasan psikologis kepada anak yang makin subur, terutama ketika perkembangan media sosial makin pervasif.
Pelaku perundungan siswa di sekolah biasanya siswa atau orang lain, baik secara individu maupun berkelompok. Biasanya, tindakan berulang secara fisik, psikologis, sosial, ataupun verbal karena pelaku umumnya dalam posisi (merasa) lebih superior. Mereka merasa lebih berkuasa atau lebih kuat bila berhasil menindas anak lainnya. Tindak perundungan biasanya dilakukan untuk meneguhkan kekuasaan atau sekadar ingin mencari perhatian dari lingkungan sosial di sekitarnya.
Studi yang dilakukan penulis (2020) di Surabaya dan Malang menemukan, di lingkungan sekolah, cukup banyak siswa, baik laki-laki maupun perempuan, yang berpotensi menjadi korban maupun pelaku perundungan. Anak yang di sekolah dikenal nakal adalah pelaku yang paling banyak melakukan aksi perundungan kepada sesama teman. Perundungan di kalangan siswa bukan hanya perundungan secara fisik di dunia offline, tetapi juga tindak perundungan di dunia maya secara online.
Faktor yang menjadi pemicu tindak perundungan biasanya adalah guyonan atau iseng yang kelewat batas. Namun, tak jarang juga dipicu kontestasi dan perebutan pacar yang lazim terjadi di kalangan anak dan remaja. Motif lainnya adalah material, yakni melakukan pemalakan untuk mencari keuntungan ekonomi.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mendefinisikan tindak perundungan sebagai kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri.
Tindak perundungan sering kali mengakibatkan korban merasa takut, terancam, atau setidak-tidaknya tidak bahagia. Tidak jarang, tindak perundungan mengakibatkan korban tersakiti, terluka, dan bahkan mengalami depresi. Dalam kajian psikologis, tindak perundungan dikategorikan sebagai perilaku antisosial atau misconduct behavior. Pelaku menyalahgunakan kekuatannya kepada orang lain yang lemah, secara individual ataupun berkelompok, dan biasanya dilakukan berkali-kali.
Di kalangan siswa, tindak perundungan sering dikatakan sebagai salah satu bentuk delinkuensi (kenakalan anak) karena perilaku tersebut melanggar norma masyarakat. Dan, dapat dikenai hukum oleh lembaga hukum yang berwenang.
Upaya Penanganan
Meski di Indonesia belum ada angka pasti berapa banyak terjadinya kasus tindak perundungan di sekolah, ada indikasi kasus perundungan ini meningkat dari waktu ke waktu. Ke depan, beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah agar tindak perundungan terhadap siswa dapat dieliminasi adalah:
Pertama, berupaya membangun kepedulian berbagai pihak terhadap pencegahan dan penanganan kasus bullying. Artinya, tindak perundungan seyogianya tidak dikonstruksi hanya sebagai bagian dari perilaku kenakalan siswa yang sifatnya tertutup dan tidak penting. Tindak perundungan harus dikonstruksi sebagai sesuatu yang menjadi wacana dan perbincangan publik. Kenapa hal ini perlu dilakukan? Sebab, dengan menarik keluar isu tentang bullying menjadi isu publik, pihak yang menjadi watchdog pencegahan kasus ini akan dapat dikembangkan dalam skala yang lebih luas.
Kedua, ada baiknya jika guru memberi kesempatan murid untuk memahami apa itu tindak perundungan, dampak dan bentuk-bentuk tindak perundungan yang diketahuinya. Termasuk tindakan apa saja yang tergolong tindak perundungan atau tindakan intimidatif. Tugas guru adalah menyosialisasikan secara jelas dan tegas kepada siswa bahwa tindak perundungan adalah perilaku yang tidak bisa diterima sama sekali.
Guru juga harus mengajak siswa berani bersuara melaporkan tindak bullying yang terjadi di lingkungannya. Dan, kemudian secara bersama-sama melawan segala bentuk perundungan yang membuat siswa mengalami trauma.
Ketiga, mengingat pelaku tindak perundungan sering kali didorong subkultur sok jagoan dan semangat untuk mencari perhatian, upaya penanganan kasus ini harus ekstrahati-hati. Menghadapi pelaku bullying secara konfrontatif niscaya malah akan membuat pelaku bangga dengan apa yang dilakukan. Menantang dan menghukum pelaku bullying di depan umum, apalagi di depan siswa lain, justru akan berisiko membuat pelaku besar kepala dan bahkan bukan tak mungkin malah berpotensi mengarah ke tindak bullying lanjutan yang tidak seharusnya terjadi. Teguran kepada pelaku perundungan perlu diberikan secara proporsional dan lebih pada sanksi sosial yang mendidik daripada sanksi yang sifatnya menghukum. (*)
*) RAHMA SUGIHARTATI, Guru besar Sains Informasi FISIP Universitas Airlangga. Meneliti kasus perundungan siswa di Jatim