JawaPos.com – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menilai, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) membuat putusan sensasi yang berlebihan. Menurut Mahfud, putusan PN Jakpus atas gugatan perdata Partai Prima dalam rangka menunda tahapan Pemilu 2024, sangat menuai kontroversi.
“PN Jakarta Pusat membuat sensasi yang berlebihan. Masak, KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh Pengadilan Negeri (PN). Bahwa vonis itu salah, logikanya sederhana, mudah dipatahkan tapi vonis ini bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi,” kata Mahfud dalam akun media sosial Instagram pribadinya, Jumat (3/3).
Mahfud khawatir, putusan PN Jakarta Pusat yang meminta KPU menunda proses tahapan Pemilu 2024, rawan dipolitisasi. Karena itu, Mahfud mendukung KPU untuk mengajukan upaya hukum banding atas vonis PN Jakpus.
“Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar. Saya minta KPU naik banding dan melawan habis-habisan secara hukum,” tegas Mahfud.
Mahfud menjelaskan, hukuman penundaan pemilu maupun proses tahapannya tidak bisa dijatuhkan dalam oleh pengadilan negeri dalam kasus perdata. Ia menegaskan, tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh pengadilan negeri.
“Menurut Undang-Undang, penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia. Misalnya di daerah yang sedang ditimpa bencana alam, yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan, tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu,” papar Mahfud.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini mengungkapkan, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu diatur tersendiri dalam hukum. Menurutnya, kompetensi atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri.
Sengketa sebelum pencoblosan, jika terkait proses admintrasi, yang memutus harus Bawaslu. Namun, jika soal keputusan kepesertaan pemilu, paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN.
“Nah Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi, jika terjadi sebelum pemungutan suara. Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu, maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya. Tak ada kompetensinya Pengadilan Umum. Perbuatan melawan hukum secara perdata tak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu,” ucap Mahfud.
Oleh karena itu, Mahfud menyebut putusan PN Jakpus tidak bisa dieksekusi. KPU harus mengajukan upaya hukum banding.
“Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekuasi. Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU,” pungkas Mahfud.