Barangkali Anda berpikir ini hanya perkara tutup cangkir. Terlalu kecil untuk dijadikan pemantik masalah besar. Apalagi sampai membawakan Matrawi sebilah pisau rajang dengan amarah membakar. Atau, mungkin Anda akan mencibir bahwa kewarasan Pan Madhasim memang berkurang gara-gara menderita kerugian tembakau!

“UTANG tiga–empat cangkir kopi yang tak lebih dari 10 ribu rupiah terlalu murah untuk ditukar dengan nyawa kecuali Pan Madhasim memang sudah gila!”

Orang-orang pun mencecarnya dengan kalimat serupa.

Eits, tunggu dulu! Persoalan tutup cangkir yang bercokol di kepalanya tidak sesederhana itu. Tutup cangkir di kepalanya bukan sekadar isyarat bayaran secangkir kopi yang dibayar tunai atau diutang dengan membiarkan tutup itu telentang. Tidak!

*

Malam itu, dia duduk dengan lengan melingkari lutut, memunggungi tumpukan gulungan tembakau yang belum dirajang, tumpukan kerosok, petikan solang yang tidak terurus sejak siang, juga tulang daun bercampur daun busuk yang menumpuk di depan undakan teras serupa timbunan sampah. Sementara sengat tajam bau tembakau mengepung udara, menindih bau asap tipis dari ujung sebatang rokok di sela dua jarinya yang dibiarkan tertutup abu.

Dia tetap geming ketika saya meletakkan secerek kopi panas dan lima cangkir kosong beserta tatakan di hadapannya. Seperti bujang ditampik pinangan, wajahnya keruh menatap 6 bal tembakau yang dibiarkan teronggok di samping langgar setelah ditolak pihak gudang.

Sepulang dari gudang tadi dia langsung mandi, lalu tidur tengkurap sampai matahari hampir tenggelam. Ketika saya guncang bahunya menanyakan upah tukang gulung, kepalanya mendongak sebentar dan menatap saya dengan mata semerah punggung kepik seraya membentak kasar.

”Sudah tahu tembakaunya ditolak gudang!”

Saya beringsut keluar dan menjanjikan upah akan dibayar setelah tembakau terjual. Para tukang gulung pulang dengan senyum seorang ibu yang gagal membeli beras besok pagi.

Sampai malam itu dia belum menyentuh piring sama sekali. Bibirnya terkatup kecuali saat dijejali sebatang rokok. Hangatnya kopi yang saya suguhkan juga tidak mengusiknya.

Sebelum saya kembali ke dapur, Dahlan dan Maksar muncul dari balik onggokan bal tembakau, memikul alat rajang dan menenteng bilah pisau tanpa gagang, sementara sarung diselempangkan pada bahu sebelahnya.

”Kenapa tembakau kakeh tak masuk lagi, Mad?” tanya Dahlan sambil menurunkan alat rajang ke tanah dan meletakkan pisau di lincak.

Tanpa menyahut Pan Madhasim menjentik abu yang menutupi bara ujung rokoknya, lalu mengisap bagian filternya dalam-dalam, kemudian asap di mulutnya disemburkan hingga mengepul bergulung-gulung.

”Katanya tembakau Matrawi masuk dengan harga 30 ribu,” timpal Maksar ikut menurunkan alat rajang dari pundaknya.

Setelah duduk di lincak, Dahlan menuang kopi ke dalam dua cangkir. Aromanya tercium samar. ”Meskipun tembakaunya sering masuk gudang, kalau ngopi di warung tutup cangkirnya selalu telentang!”

Sudah menjadi peraturan tak tertulis; di warung itu, jika kopi diutang, tutup cangkir dibiarkan telentang. Tidak ada tagih-menagih bayaran demi menjaga kehormatan. Jika kopi dibayar tunai, uangnya cukup ditaruh di bawah tatakan, dan tutup cangkir ditangkup pada tempatnya menyembunyikan ampas di dalamnya.

”Enak sekali dia, datang tinggal ngopi seolah dapur bininya sendiri!” Maksar mengambil satu cangkir yang baru dituangi kopi. Asap mengepul tipis. Meniupnya sebentar, lalu menyeruput pelan.

”Belakangan ngopinya malah lebih sering dari kakeh, Mad!” ledek Dahlan terkekeh.

”Tadi pagi dia juga nongkrong lama di sana. Selain ngopi, menghabiskan tiga gorengan tapai. Katanya semua akan dibayar sepulang dari gudang!” Maksar menyulut sebatang rokok.

Sejak tadi diam-diam saya melirik mereka sambil membereskan cangkir-cangkir bekas tukang gulung tadi siang.

”Lama-lama bini kakeh bisa bangkrut punya pelanggan macam Matrawi!”

Selama musim tembakau ini, dia sendiri memang jarang ke warung. Selain pekerjaan menumpuk memeras tenaga, anjloknya harga tembakau juga menguras pikiran. Sebelumnya, tembakau yang dibawa ke gudang juga ditolak, dan justru punya Matrawi yang masuk. Padahal, siapa di kampung ini yang tak tahu kalau Matrawi diam-diam mendatangkan tembakau luar dan mencampurnya dengan tembakau lokal? Balanti’ saja tak berani pasang harga. Jangankan aroma, dilihat dari warnanya sudah jauh berbeda. Banyak yang menduga, Matrawi bermain licin di belakang, itu sebab tembakaunya selalu masuk gudang.

Memang bukan hal baru di dunia persortiran mengenai permainan antara tukang sortir dengan pedagang maupun petani. Untuk memasukkan tembakau berkualitas di bawah standar gudang, kadang menggunakan sampel tembakau orang lain yang kualitasnya lebih bagus. Biasanya, pemilik tembakau itu mendatangi rumah tukang sortir sebelumnya, lalu mereka membuat kesepakatan.

Sementara Pan Madhasim terbiasa berlaku lurus. Tak ada sifat menikung dalam dirinya.

Kerugian Pan Madhasim semakin puruk gara-gara harga tembakau anjlok. Kalung saya yang dijadikan modal terancam hanyut. Padahal, sehabis musim tembakau ini dia berencana meminta istri mudanya itu untuk menutup warung kopi, lalu memodalinya membuka warung sembako saja.

Sebelum meminta kesediaan saya menjual kalung, dia mengaku kesal menyaksikan warung perempuan itu ditongkrongi para lelaki. Tak jarang dia dapati mata pelanggan diam-diam melirik dada montoknya ketika menghidangkan kopi. Pernah melihat Matrawi menyenggol bokongnya seolah tanpa sengaja, padahal dia yakin lelaki itu sengaja melakukannya. Lain lagi soal canda gurau pelanggan yang selalu menyerempet tentang perkasuran, dan perempuan itu kerap kena lemparan kata-kata nakal.

Kecemburuan di matanya membuat perasaan saya seperti baru saja dapat pelunasan utang dengan nominal sekian.

”Apakah barusan kalian mampir ke warung?” kali ini Pan Madhasim buka suara dengan kecemburuan yang sama. Ucapan Dahlan baru saja bagai pantik api yang menyulut kelaras di dadanya.

”Sebentar.” Dahlan menjawab enteng.

”Ada Matrawi?”

”Apalagi sedang tebal, kantong kempis saja dia tinggal menelentangkan tutup cangkir!” Dahlan tertawa sumbang.

”Pate’!”

Umpatan Pan Madhasim membuat jantung saya berdetak lebih kencang, dan cangkir di tangan hampir terlepas dari pegangan.

”Mau ke mana kakeh, Mad?” teriak Maksar ketika melihat Pan Madhasim meloncat turun sambil menyambar sebilah pisau rajang yang tadi diletakkan Dahlan, lalu melesat hilang ditelan kegelapan.

”Mau ke mana dia?” Dahlan menoleh pada Maksar, cemas.

Tanpa menunggu kesepakatan, keduanya segera menyusul. Sejenak saya tercekat di tempat. Teringat kata ”tutup cangkir” yang pernah dijadikan gambaran dalam mengukur ketaksempurnaan, tak lama setelah saya kembali dari rumah sakit dengan dada rata.

”Seperti secangkir kopi tanpa tutup, cepat dingin sebelum habis,” keluhnya suatu malam, gara-gara gairahnya menurun sebelum mendaki puncak kenikmatan.

Saya telentang diam meraba dada yang masih ada bekas jahitan dan tetap menyisakan nyeri ketika sedikit ditekan atau mengangkat barang berat. Akan tetapi, nyeri di sana masih tak sebanding nyeri dalam hati ketika suatu malam sehabis menelan kekecewaan berulang, dia minta dicarikan ”tutup cangkir” yang lain.

Marah, tak terima, merasa tak berguna sekaligus tak berdaya membuat saya mengutuk keegoisannya, sekaligus menyesali nasib yang telah menitip penyakit dan merenggut sisi keperempuanan saya.

Subuhnya, tanpa memberi jawaban, saya membundel semua pakaian dengan kain sarung seperti membundel kisah kebersamaan, menyungginya ke rumah orang tua sebelum dia pulang dari masjid.

”Laki kakeh itu orang jujur. Kalau orang lain mungkin sudah main serong di belakang,” sesal ayah begitu saya ceritakan semua.

”Iya, dia jujur tak bisa menerima kekurangan bininya,” sahut saya dengan nada menggugat.

”Walaupun cerai darinya, belum tentu ada orang lain yang mau menerima kakeh apa adanya!” suara ayah sedikit meninggi.

”Aku bisa hidup sendiri tanpa suami!” balas saya, sedingin air hujan, lalu ayah menyambarnya seperti petir menggelegar.

”Kakeh pikir gampang hidup menjanda jadi gunjingan tetangga?”

Dulu, dengan bola mata dan suara yang sama menggelegarnya, ayah juga menutup kesempatan saya meraih impian menjadi guru, demi memasuki lengkung janur kuning karena alasan takut jadi gunjingan tetangga. Kini, kembali dia merenggut kebebasan saya dalam memilih, masih dengan alasan yang sama.

Tanpa menimpali, ibu meninggalkan ruangan sebentar, lalu kembali membawa bak cucian berisi pakaian yang saya bundel tadi.

”Cucilah dulu, lalu bawa pulang. Kasihan anak kakeh, bangun tidur tidak menemukan ibunya.”

Di mata ibu saya temukan masa kecil, ketika bangun tidur tidak menemukannya di dapur, di sumur, maupun di halaman belakang. Tangis saya meraung keras memanggilnya, namun hanya ayah yang muncul. Dengan wajah masih berleleh air mata dan ingus ayah menggendong saya ke warung kopi. Bau asap rokok yang bergulung-gulung, canda tawa bapak-bapak, aroma gorengan, masih saya ingat sampai sekarang. Setelah menghabiskan dua potong pisang goreng dan kopi di cangkir ayah habis, dia membawa saya ke tegal.

Menjelang tengah hati kami baru pulang dan mendapati ibu tengah menjemur pakaian.

Ingatan masa kecil itu menghadirkan sosok mungil yang tadi masih meringkuk memeluk guling dan saya tinggal begiu saja. Apakah ketika bangun bocah itu juga panik mencari saya?

Akhirnya, dengan mempertimbangkan nasib si kecil, saya pulang menyunggi bak berisi pakaian, seperti Sarah yang hendak mempersembahkan Hajar pada Ibrahim. Dada saya bagai serdadu kalah perang. Penuh lubang.

*

Katanya, ketika sampai di warung, pengunjung sedang penuh, namun Matrawi baru saja pulang. Pan Madhasim melampiaskan kemarahannya dengan mengarahkan mata pisau pada poster bergambar bupati beserta wakilnya yang menempel di dinding warung sejak musim kampanye pilkada tiga tahun silam dan keduanya sempat mengumbar janji akan memperhatikan nasib petani tembakau, namun janji itu bagai jambu air di musim hujan.

Apakah menurut Anda kewarasan Pan Madhasim memang layak dipertanyakan? (*)

Madura, Mei 2021


MUNA MASYARI, Bertempat di Pamekasan, Madura. Buku terbarunya, Damar Kambang, sebuah novel yang diterbitkan oleh KPG.

By admin