ANAK polah bopo kepradah. Ungkapan tradisional ini tampaknya sedang menimpa Rafael Alun Trisambodo (Alun). Pejabat di kantor perpajakan ini harus menerima akibat ulah ”keji” anaknya. Kekerasan yang dilakukan Mario kepada David Ozora (David) menjadi sorotan tajam. Tidak hanya oleh masyarakat umum, bahkan pejabat publik setingkat menteri ikut serta menaruh perhatian kasus ini.
Tidak heran jika kasus kekerasan ini menjadi viral. Jejak Mario pun akhirnya ditelusuri netizen kita. Rasa kepo melahirkan berbagai temuan yang mengagetkan, yakni gaya hidup Mario yang suka pamer kemewahan. Jejak digital itu akhirnya mengarah pada Rafael, orang tua Mario. Seorang pegawai pajak eselon III dengan harta kekayaan fantastis, Rp 56,1 miliar.
Akhirnya, peristiwa yang semula berkaitan dengan masalah pribadi beralih ke soal kekayaan fantastis pejabat publik. Sebagai seorang aparatur sipil negara (ASN), harta kekayaan tersebut jelas patut dicurigai. Bagaimana mungkin seorang ASN memiliki harta kekayaan yang tidak ”logis”. Sekadar guyonan, gaji ASN itu sesungguhnya dapat dihitung dengan kalkulator. Dengan penghasilan tiap bulan, uang yang diterima ASN mudah dikalkulasi dengan kalkulator. Jika kemudian kalkulator itu error karena tidak mampu menampung jumlah angka yang fantastis, kekayaannya patut dicurigai. Dari mana asalnya dan dengan cara apa mendapatkannya.
Isunya, PPATK pernah melaporkan ke KPK tahun 2021 terkait adanya transaksi mencurigakan dari pejabat pajak. Namun, sampai sekarang laporan itu belum menunjukkan tengara untuk diungkapkan. Terlepas dari persoalan ini, kasus kekerasan Mario kepada David ternyata justru membuka berbagai persoalan berkaitan dengan betapa banyak ASN di negeri ini yang ternyata memiliki profil yang bertolak belakang dengan jabatannya sebagai pegawai negeri.
Sorotan Publik
Fenomena pejabat publik yang gaya hidupnya melampaui profilnya sebenarnya bukanlah hal baru. Sejak lama masyarakat ”jengkel” dengan ulah beberapa oknum pejabat publik. Mereka tidak pernah sadar bahwa kehidupannya akan selalu menjadi tema perbincangan. Apalagi jika di tengah-tengah masyarakat, mereka menampilkan diri sebagai pejabat yang status sosialnya berbeda dengan lainnya. Tidak hanya soal jabatannya, tapi juga jumlah harta benda yang dimilikinya.
Rasan-rasan warga di warung kopi, di poskamling, dan lainnya tentang gaya hidup pejabat publik yang tidak sesuai dengan profilnya menjadi perbincangan yang selalu kita dengar. Realitas ini memberikan gambaran bahwa tingkah polah pejabat publik tidak pernah lepas dari perhatian warga sekitarnya. Setiap ASN, apa pun jabatannya, harus rela hidupnya selalu berada dalam rasan-rasan warga sekitar. Mengapa demikian? Tidak hanya karena gaji ASN yang dibayarkan dari pajak rakyat, melainkan juga adanya tanggung jawab sebagai pejabat publik di tengah-tengah masyarakat.
UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) sudah begitu terperinci menunjukkan peran publik ASN dalam pelayanan publik. Pasal 5 secara jelas mengatakan bahwa ASN dalam menjalankan tugasnya harus dengan jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi (ayat 2a); menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung jawab, efektif, dan efisien (ayat 2g). Bahkan, sumpah sebagai ASN juga eksplisit menyebutkan bahwa seorang ASN akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara (pasal 66).
ASN merupakan representasi (aparat) negara di tengah-tengah masyarakat. Sesuai sumpah jabatannya, ASN harus mampu menunjukkan sosok teladan bagi masyarakat lainnya. Dalam logika birokrasi modern, ASN itu abdi negara yang bertugas menjadi pelayan publik. ASN tidak boleh merepresentasikan diri sebagai ”priayi” yang merasa hidupnya berada dalam stelsel social lebih tinggi daripada lainnya.
Kedudukannya sebagai abdi negeri inilah yang membuat ASN diberi fasilitas oleh negara. Baik melalui tunjangan maupun fasilitas lainnya. Pemberian fasilitas oleh negara diharapkan setiap ASN memiliki totalitas melayani kepentingan publik. Kepentingan negara dan warga negara di atas kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Karena itulah, melihat posisi seperti ini, pejabat publik harus siap menjadi sorotan banyak orang. Tidak hanya mengukur kinerja, melainkan juga perilaku keseharian yang ditampilkan. Tidak hanya ASN itu sendiri, tetapi juga bagaimana gaya hidup keluarganya.
Sorotan tajam kepada pejabat publik yang hidup normal saja sudah merupakan keniscayaan, apalagi yang suka memamerkan gaya hidup glamor dan mewah. Menjadi wajar jika publik bertanya-tanya, dari mana kepemilikan kekayaan itu diperoleh.
Banyak mentor kehidupan selalu berseloroh mengatakan, kalau ingin kaya jangan menjadi pegawai negeri, tetapi jadilah pengusaha. Guyonan ini hal yang wajar karena berapa penghasilan ASN bulan depan sudah dapat diprediksi dan berapa yang bisa ditabung untuk kepentingan lainnya. Berbeda dengan pengusaha, berapa penghasilan bulan depan sangat bergantung pada kerja keras usaha yang dilakukannya. Seberapa keras ASN bekerja, gaji yang diterima sesungguhnya sudah sangat bisa diprediksi.
Sensitivitas Publik
Karena itu, ASN haruslah memiliki sensitivitas kepada publik. Menggunakan ukuran keberhasilan kinerja sebagai ASN dengan seberapa banyak kepemilikan harta benda dan kemudian diperlihatkan kepada publik sebagai simbol kesuksesan jelas mencederai perasaan publik. Seorang ASN memang bukanlah sosok dewa yang tidak bisa tersentuh oleh nafsu-nafsu duniawi; kepemilikan harta benda. Keinginan pada penguasaan harta benda jelas bagian dari sifat manusiawi seorang pegawai negeri. Namun, kemampuan mengendalikan diri untuk tidak hidup berlebihan merupakan kesadaran yang harus dimiliki sejak memutuskan menjadi ASN.
Di tengah-tengah masyarakat, setiap ASN harus memiliki sensitivitas publik. Bagaimana harus memosisikan diri dalam kehidupan sehari-hari perlu mendapatkan perhatian. Di dalam posisi sebagai ASN jelas terdapat tanggung jawab moral yang harus dipikul. Tidak hanya tanggung jawab kepada negara karena posisinya sebagai abdi negara, melainkan juga tanggung jawab kepada Tuhan karena posisinya ada amanah untuk hidup demi kepentingan orang lain. (*)
*) LISTIYONO SANTOSO, Pengajar ilmu filsafat serta wakil dekan bidang akademik dan kemahasiswaan Fakultas Ilmu Budaya Unair