JawaPos.com – Akademisi dari berbagai universitas ternama di indonesia menyuarakan agar riset mengenai produk tembakau alternatif dimasifkan. Sebab, ada temuan awal bahwa produk tersebut lebih rendah risiko dibanding rokok.
Guru Besar Sekolah Faramasi Institute Teknologi Bandung (SF-ITB) Rahmana Emran Kartasasmita mengatakan, terobosan ini sudah masif diteliti di berbagai negara. Akan tetapi, di Indonesia masih minim.
SF-ITB juga telah menggelar kajian mengenai produk tembakau alternatif. Kajian literatur ilmiah ini bertujuan menghitung perkiraan tingkat risiko produk tembakau yang dipanaskan.
“Tujuan dari kajian ini adalah untuk mencari data kualitatif dan kuantitatif terkait berbagai senyawa dalam produk tembakau yang dipanaskan dan rokok sebagai pembanding, serta penggolongan karsinogenitasnya dengan merujuk pada IARC (The International Agency for Research on Cancer atau Badan Internasional untuk Penelitian Kanker),� kata Emran kepada wartawan, Selasa (28/2).
Hasil kajian tersebut menunjukan produk tembakau yang dipanaskan memiliki profil risiko yang lebih rendah daripada rokok. Walaupun tidak sepenuhnya bebas risiko, paparan zat berbahaya dan berpotensi berbahaya pada produk ini juga lebih rendah.
“Kalau dipikir sederhana secara logika, tentu saja dengan dipanaskan seharusnya lebih sedikit komponen zat berbahaya dan berpotensi berbahaya yang terbentuk secara kualitatif, jenis, maupun kuantitatif kadarnya,� terang Emran.
Selain itu, Emran menekankan pentingnya riset yang komprehensif terhadap produk tembakau alternatif untuk mengurangi misinformasi yang beredar saat ini di masyarakat. “Hasil kajian tersebut dapat dijadikan awalan untuk memperkaya teks akademik bagi pengambil kebijakan, peneliti lain, serta untuk pemahaman masyarakat umum,� tukasnya.
Selain SF-ITB, riset mengenai produk tembakau alternatif juga dilakukan oleh Universitas Padjadjaran (Unpad) dipimpin Amaliya bersama beberapa orang lainnya. Penelitian ini dilakukan mengingat produk tembakau alternatif, seperti salah rokok elektrik, diklaim memiliki risiko lebih rendah daripada rokok.
“Penelitian ini bertujuan untuk mengamati respons gusi pada pengguna rokok elektrik dibandingkan perokok aktif dan bukan perokok,� kata Amaliya.
Penelitian ini melibatkan responden dewasa yang dibagi ke dalam tiga kelompok dengan distribusi gender tidak merata. Kelompok pertama adalah perokok aktif dengan masa konsumsi rokok minimal satu tahun. Kelompok kedua adalah pengguna rokok elektrik yang telah beralih dari rokok dengan masa penggunaan minimal satu tahun. Kelompok terakhir adalah non-perokok atau bukan pengguna produk tembakau yang akan dijadikan sebagi acuan untuk hasil penelitian.
“Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengguna produk tembakau alternatif yang telah berhenti dari merokok menunjukkan perbaikan kualitas gusi yang sama seperti yang dialami oleh non-perokok. Artinya, kondisi pertahanan gusi telah kembali normal,� pungkas Amaliya.