Umat Islam barangkali tidak memiliki kultus spesifik kepada figur malaikat tabib seperti Santo Rafael dalam tradisi Katolik atau dewa-dewi penyembuh serupa Asclepius, Hygeia, dan Panakeia dalam kuil-kuil Yunani.

AKAN tetapi, sebagian muslim percaya bahwa kesehatan mereka bisa dipulihkan melalui keajaiban puisi. Burdah, sebuah himne nabi abad ke-13 yang terdiri atas 160 stanza, dianggap mujarab mengusir mala. Gita puja tersebut ditulis ketika penganggitnya, pujangga-sufi Mesir kelahiran Maroko, Busiri, mendaku mengalami remisi spontan dari kelumpuhan setelah bermimpi sang junjungan memakaikan jubah kepadanya.

Sebagian umat Islam Indonesia memadahkan burdah kepada orang sakit dengan harapan agar sang nasib segera memberi keputusan: menyembuhkannya atau menyerahkan jiwanya ke pangkuan maut. Pada ritual kematian, melantunkan burdah menjadi paradoks: Ia syair elegiak yang dimaksudkan untuk meratapi mendiang sekaligus menghibur mereka yang ditinggalkan.

Burdah dialunkan secara kontinu dan berjamaah saat wabah melanda. Sulit menemukan ritual semacam ini dipraktikkan secara individual. Sebagai jantung agama, demonstrasi ritual membutuhkan komunitas. Agama adalah lembaga. Ia berwatak komunal ketimbang spiritualitas yang lebih subjektif, privat, dan autentik. Menurut sosiolog Prancis David Emile Durkheim, cikal bakal gagasan agama lahir dari gelembung kerumunan yang hanyut dalam atmosfer religius yang sama saat menjalankan ritus totemik.

Di sini kita melihat magi kata-kata. Sebagai bunyi, kata-kata memiliki kualitas sakral ketika digunakan oleh masyarakat yang tidak mengenal tulisan. Burdah memang puisi tertulis, tetapi ia kerap dihidupkan oleh komunitas yang masih merawat tradisi kelisanan. Maka, burdah dirapalkan sebagaimana ketika kita mendengungkan kitab suci.

Bagi orang beriman, doa bukan sekadar harapan. Doa merupakan tindakan. Pada masyarakat yang mustahil membayangkan tulisan, ”kata” sama dengan ”peristiwa”, catat Imam Yesuit Texas Walter Jackson Ong. Setiap ucapan adalah kejadian. Sebuah pikiran hanya memiliki daya ketika dituturkan.

Dalam kosmogoni agama-agama Abrahamik, Tuhan menyusun jagat raya dengan kata-kata. ”Pada mulanya adalah firman,” tulis Yohanes. ”Jadilah!” ucap Tuhan ketika menciptakan semesta. Membaca kitab suci dengan suara yang dinyaringkan dipercaya sebagai modus untuk menghadirkan ulang kekuatan Ilahi seperti ketika Ia kali pertama menakhlikkan dunia dan berbicara kepada para nabi.

Adapun aktivitas mendengarkan adalah usaha memusatkan suara dari seluruh penjuru, melingkupi seseorang dengan sensasi yang ditimbulkan, dan meletakkan eksistensinya sebagai inti mandala dunia. Dalam selubung bunyi kata-kata, manusia adalah umbilicus mundi, poros jagat. Memanjatkan doa secara kolektif menjadi upaya saling memberi dan menerima suara. Individu lenyap, terhubung dengan pribadi-pribadi lainnya, mengalami semesta dan tenggelam dalam kesatuan kosmos yang sama.

Iman kolektif kepada daya kata-kata inilah yang menggerakkan massa untuk membawakan burdah sebagai penghalau wabah. Dalam kepercayaan masyarakat kuno, penyakit yang diderita seseorang tidak bisa dilepaskan dari koneksi kosmisnya. Penyakit muncul sebagai efek dari gangguan atas keseimbangan kosmos yang berdampak pada kesejahteraan raga dan jiwa. Maka, untuk memulihkannya, terapi dilakukan untuk mengintegrasikan kembali tubuh dan psikis dengan lingkungan fisik serta sosialnya. Pandangan semacam ini tidak jauh berbeda dengan tradisi kedokteran Hippokrates dan Konfusius. Dalam konteks burdah dan wabah, kemampuan agregatif suara dianggap dapat mengembalikan keselarasan holistik yang telah tercederai.

Ini menjadi ironis ketika orang-orang berkumpul dan berdoa bersama untuk mencegah virus yang cepat menular. Namun, ini juga menjadi tanda bahwa membaca burdah adalah psikoterapi yang tidak disediakan negara untuk warganya. Pemerintah terlalu sibuk merancang dan menerapkan kebijakan yang hanya terfokus pada persoalan ragawi: jaga jarak, pakai masker, gunakan hand sanitizer, minum vitamin, perkuat imun, ayo vaksin. Tetapi, aspek kesehatan mental tidak diperhatikan.

Mengisolasi warga agar bertahan di rumah barangkali berhasil diterapkan di daerah urban atau negara-negara makmur yang menjunjung individualitas seperti Eropa dan Amerika. Tetapi, mengurung masyarakat desa di dalam rumah –bahkan tanpa jaminan ekonomi– tidak hanya akan menjadi ancaman bagi nyawa, tetapi juga pembunuhan simbolis bagi makna hidup mereka sebagai manusia. Manusia, dalam masyarakat guyub, tidak didefinisikan sebagai individu-individu yang berdaulat. Manusia adalah kumpulan individu.

Karena itu, untuk mengatasi masalah wabah, negara tidak hanya memerlukan uluran tangan sains, tetapi juga menimbang siasat kebudayaan. Negara tidak cuma harus melibatkan ahli medis, tetapi juga mesti mendengarkan pakar psikologi, ahli sosial, juru budaya, dan filsuf agar bisa menangkap solusi secara komprehensif. Pemecahan masalah yang ditawarkan ilmu pasti tidak serta-merta bisa diterapkan. Ia perlu disesuaikan dengan karakter masyarakatnya. Sebab, hal ini berelasi kuat dengan aspek psikis mereka. Sebagian warga desa lebih baik menyangkal bahwa anggota keluarganya mati karena wabah ketimbang tak ada kenduri arwah yang diyakini dapat menyelamatkan jiwa almarhum di alam baka.

”Banyak sarjana medis yang percaya bahwa sejarah kedokteran sebenarnya adalah sejarah pengaruh plasebo,” ungkap cendekiawan Amerika Norman Cousins. Menghadapi wabah, kita mengalami darurat medis, kemelut rasa aman ekonomis, juga krisis efek plasebo. Maraknya berita kematian dan ketidakpastian hidup telah menyebabkan kebangkrutan psikis. Dan di sudut-sudut mitos negeri ini, orang-orang membangun mental positif dengan berlindung dalam kur Kidung Mantel (Qasida al-Burda) dari ganasnya sang mahakecil yang tengah mencengkeram dunia. (*)

By admin