Pada malam Jumat, 29 Juli 2021, malam ulang tahunnya ke-80, Goenawan Mohamad mulai menggelar pameran tunggal Di Muka Jendela: Enigma di Galeri Salihara dan Nadi Gallery, Jakarta. Ini jadi pameran tunggalnya kali ketujuh sepanjang lima tahun belakangan.

SAYA menonton pembukaan pameran yang diampu oleh Hendro Wiyanto dan S. Malela Mahargasarie itu di kanal YouTube-TV Tempo. Pada Kamis malam itu juga Komunitas Salihara dan Penerbit Gang Kabel meluncurkan buku kumpulan tulisan seni rupa Kata, Rupa, Obyek, dan Yang Grotesk Goenawan Mohamad.

Keterangan yang saya peroleh dari acara tersebut, untuk pameran ini, Goenawan Mohamad mempersiapkan lebih kurang 50 lukisan di kanvas dan 120 gambar di kanvas katun berbahan cat minyak dan akrilik selama satu tahun terakhir. Ada pula sebuah objek berbahan lempung dan sejumlah boneka kayu Den Kisot yang pernah menjadi ”aktor utama” dalam pentas teater wayang golek Den Kisot di Galeri Salihara, 13 Juli 2019.

Semua karya itu, sebagaimana sudah saya singgung di atas, dipamerkan di Galeri Salihara (29 Juli–28 Agustus) dan Nadi Gallery (29 Juli–29 September). Semua karya yang terpajang di dua galeri itu pun menebalkan keyakinan saya bahwa Goenawan Mohamad adalah penyair-perupa Indonesia paling produktif lagi intens berkarya dan berpameran seni rupa saat ini.

Betapa tidak, selama lima tahun terakhir, Goenawan Mohamad telah melahirkan sekitar 400-an karya kertas, 100-an lukisan di kanvas, dan 200-an karya kolaborasi yang telah diperhelatkan dalam 7 ekshibisi solo (di Jakarta, Jogjakarta, dan Semarang), 6 pameran grup (di Jakarta, Semarang, dan Magelang), dan 2 pergelaran duo (dengan perupa Hanafi dalam 57 x 76 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, dan Komaneka Art Gallery, Bali).

Saya ingin menggarisbawahi intensitas dan produktivitas mantan pemimpin redaksi majalah Tempo itu sebagai ikhtiar penuh seluruh untuk berdaya cipta di dunia seni rupa Indonesia, bukan sekadar hobi di waktu senggang. Apalagi, ikhtiar itu didorong oleh sebuah ”panggilan” untuk mengalami kembali ”suasana ketika cat, kuas, pena, kanvas, kertas hadir menyambut tubuh perupa”, suasana yang hampir-hampir sirna di dunia seni rupa Indonesia hari-hari ini yang marak dengan ”karya-karya yang canggih, instalasi-instalasi yang seakan-akan parade ’spektakel’.”

Dengan begitu, saya ingin memahami Di Muka Jendela: Enigma sebagai pengejawantahan ”panggilan” tersebut yang memungkinkan saya beroleh perspektif bandingan tentang perkembangan estetik dan pencapaian artistik karya-karya seni rupa Goenawan Mohamad sepanjang lima tahun belakangan.

Yang segera terpahami oleh saya adalah pokok perupaannya, yaitu potret. Pada pameran ini, pun dalam enam pameran tunggalnya sebelumnya, potret: manusia, binatang, wayang, dan makhluk antah-berantah, mendominasi kanvas dan kertas Goenawan Mohamad.

Sebutlah, misalnya, Sitor (2020, cat minyak di kanvas, 150 x 100 cm), Ayu (2020, cat minyak di kanvas, 100 x 100 cm), Sapardi (2020, cat minyak di kanvas, 150 x 100 cm), Bima dan Tengkorak (2020, cat minyak di kanvas, 150 x 100 cm), Monyet tanpa Teman (2021, cat minyak di kanvas, 100 x 100 cm), Rendra sebagai Oedipus (2020, cat minyak di kanvas, 100 x 100 cm), Melati (2020, cat minyak di kanvas, 100 x 100 cm), dan Diana (2020, cat minyak di kanvas, 150 x 100 cm).

Baca juga: Yang Datang dari Proses Interaksi dan Berdiam Diri

Yang mengesankan saya dari pokok perupaan potret dalam proses kreatif Goenawan Mohamad adalah ikhtiar penyair-perupa kelahiran Batang, Jawa Tengah, ini menjadikannya sebagai ”dunia yang belum sudah”, untuk memakai sepenggal larik sajak Rivai Apin.

Kita bisa mendapatkan contohnya dalam lukisan Frida Muda (2021, cat minyak di kanvas, 150 x 100 cm), Slamet Gundono (2021, cat minyak di kanvas, 150 x 100 cm), Avianti dan Puisi (2020, cat minyak di kanvas, 150 x 100 cm), Sang Aktor (2021, cat minyak di kanvas, 150 x 100 cm), dan Anoman di Alengka (2018–2021, akrilik dan cat minyak di kanvas, 80 x 100 cm).

Sependek pengamatan saya, Goenawan Mohamad telah melukis potret pelukis Frida Kahlo tiga kali, dalang Slamet Gundono dua kali, penyair Avianti Armand dua kali, dan aktor Slamet Raharjo dua kali. Apa yang memanggil penulis ”Catatan Pinggir” yang legendaris itu melukis mereka berkali-kali? Apa yang membikin sosok-sosok itu seperti, pinjam judul naskah teater Arifin C. Noer, ”sumur tanpa dasar” yang airnya tak akan habis ditimba? Apakah ada enigma yang membuat Goenawan Mohamad tergugah merupakan sosok-sosok itu dengan ekspresi dan impresi yang berbeda atau yang lain? Mengapa penulis ”Potret Penyair Muda sebagai si Malin Kundang” ini seakan tak ingin ”selesai” melukis mereka?

Baca juga: Sastrawan Berseni Rupa…

Barangkali jawabannya bisa ditemukan dalam pernyataannya ini. ”Sebuah lukisan adalah sebuah kerinduan yang tak meniatkan balas: seorang pelukis memanggil Yang Lain yang tak ia tahu tak akan membalas memanggilnya.”

Saya pun insaf, kerinduan itulah yang belum sudah dalam daya cipta Goenawan Mohamad. Ialah momen penting yang menggerakkan dirinya dan yang membahagiakannya dalam berseni rupa sampai kini dan nanti. (*)


 

*) WAHYUDIN, Kurator seni rupa, tinggal di Jogjakarta

By admin