Berbusana serba-pink dipadu bawahan wastra Nusantara dan kipas di tangan. Ibu-ibu Komunitas Cinta Berkain Indonesia (KCBI) Surabaya tampil kompak dalam sesi rutin latihan menari di kawasan Tegalsari Selasa (14/2). Mayoritas sudah berusia 60 tahun, bahkan lebih. Namun, full semangat berlenggak-lenggok mengikuti arahan guru, Nunik Dwi Puspitaningsih.

SIANG itu (14/2) mereka berlatih tari Kebyar karya begawan seni (alm) Bagong Kussudiardja. ”Ya begini kalau latihan. Lengkap pakai dress code, pakai kain. Kadang kami rekam juga,” tutur Nunik.

Menari menjadi salah satu agenda kegiatan komunitas yang berdiri sejak 2016 tersebut. Di samping itu, ada line dance dan karawitan. Dari sekitar 150 anggota KCBI Surabaya, 25 di antaranya tergabung sebagai penari.

Mereka berasal dari beragam background profesi yang menaruh minat pada seni tari. Mulai ibu rumah tangga, dokter, hingga pegawai bank. ”Ada yang dari kecil atau masa mudanya memang sudah belajar menari. Ada yang tidak pernah menari, tapi kepingin bisa. Jadi, belajar bersama-sama,” ujar ibu dua anak itu.

Dengan telaten, Nunik membetulkan gerakan yang kurang tepat dan mengulangi beberapa kali. Tari Kebyar yang sejatinya perpaduan tari klasik dan kreasi memang cukup sukar dihafal gerakannya. Bisa 2–3 bulan latihannya.

Lain halnya dengan tari kreasi. Cukup 2–3 kali pertemuan. Sebab, lagu yang digunakan sebagai pengiring adalah lagu-lagu yang tidak asing di telinga seperti Stasiun Balapan dan Pamer Bojo. ”Saya kan juga mengajar anak sekolahan. Kalau secara daya ingat, mereka gampang mengingat. Tapi soal semangat, ibu-ibu yang menang,” ungkap perempuan 58 tahun itu.

Salah satu penari adalah Dr Sundari Manoppo. Usianya sudah 71 tahun, tetapi tidak pernah absen mengikuti sesi latihan menari. Meski cukup kesulitan dalam mengimbangi kecepatan, Sundari mengaku tidak pernah dimarahi Bu Guru, sebutan Nunik.

”Saya suka olahraga dan menari, itu kan gerakan-gerakan ritmis yang halus. Meski agak kaku, saya semangat,” ujar Sundari. Menurut dia, hal itu memberikan keseimbangan dalam hidup. Antara aktivitas profesi, sosial, dan dan seni.

Pada sesi kedua setelah break, mereka beralih membawakan tari kreasi garapan Nunik yang bertajuk Asmaradhana. Musiknya lebih energik lagi. Orang yang melihatnya mungkin tidak akan menyangka jika mereka mampu menarikannya dengan penuh energi. ”Nggak kelihatan tua karena bahagia belajar menari dengan Bu Guru,” sahut para anggota KCBI Surabaya.

Tak tanggung-tanggung, mereka pernah tampil di Candi Prambanan membawakan tarian Sparkling Surabaya sebagai tari pembuka sendratari Ramayana. Aksi panggung itu disaksikan seribu penonton. Mereka bahkan pernah unjuk kemampuan menari di Perth, Australia, pada 2017.

”Terbaru, kami tampil di Taman Budaya saat ultah KCBI Surabaya Oktober lalu,” ucap Nunik. Ketika itu mereka menampilkan sendratari Roro Jonggrang garapan Nunik. Selain itu, mereka biasa tampil di event-event tertentu. Antara lain, Hari Kartini dan Hari Ibu.

Saat pandemi, mereka pun tetap produktif. Nunik memberikan PR untuk membuat video tari yang sudah dicontohkan, kemudian dikumpulkan dan dia jadikan satu. Enam tahun sudah Nunik mengajar KCBI Surabaya. Sejak pensiun, dia bisa lebih total menumpahkan ide-ide kreasinya ke dalam koreografi tari.

”Saya anggap menari itu olahraga, dari hati. Kalau hatinya senang, nggak ada capek. Dulu koreo saya nggak banyak, sekarang semakin kompleks. Daya pikir terus dipacu. Jadi, kreativitas makin tumbuh,” ungkap pengajar tari yang juga melatih di Bunga Semanggi Surabaya itu.

By admin