Dari Diskusi Buku ”Sentimentalisme Calon Mayat”
Menyimak Sentimentalisme Calon Mayat terasa seperti menonton film scifi. ”Ajaib”. Kadang tak masuk akal, tapi memikat. Sony Karsono sukses mengemas kegilaan lewat tokoh dan alurnya.
DITULIS pada pertengahan 1990-an, cerita-cerita Sony masih terasa futuristis saat dibaca sekarang. Penulis sekaligus pengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Korea Selatan, itu punya cara unik dalam menuturkan ceritanya. Para tokoh utamanya dipaksa melalui nasib buruk dan perjalanan psikedelis. Sulit dipercaya, tapi toh penceritaannya sukses ”membius”.
Dalam peluncuran buku cerpen Sentimentalisme Calon Mayat di Dekesda Art Center, Sidoarjo, Rabu (22/2), kritikus dan penyair S. Yoga menyatakan, penceritaan Sony mungkin terjadi karena desakan Orde Baru. Kediktatoran memaksa proses kreatif tumbuh subur. Plus, punya produk akhir yang begitu beragam. Termasuk dalam bidang sastra.
Dalam karya Sony, penutur cerita berupa banyak subjek. Di antaranya, boneka serta program yang digerakkan kecerdasan buatan. ”Secara umum, ceritanya bicara tentang tubuh, kematian, dan waktu. Problem sosial juga muncul sedikit-sedikit, seperti masalah bisnis dan kekuasaan,” ungkap Yoga.
Terlepas dari panjang cerita, karya cerpen Sony komplet. Tak pernah gagal menghadirkan twist dan suspens. Pemilik gelar doktor sejarah dari Ohio University, Amerika Serikat, itu bisa menghadirkan bingkai waktu yang panjang dalam cerita sepanjang 8–10 halaman.
”Inilah pandainya Sony. Suspens ditambahkan dengan baik,” kata Yoga. Kritikus sastra lulusan Universitas Airlangga, Surabaya, itu menyandingkan Sentimentalisme Calon Mayat dengan Seratus Tahun Kesunyian, novel fantasi karya penulis Kolombia Gabriel Garcia Marquez. Di novel tersebut, Marquez mengembangkan bingkai waktu lewat lamunan yang panjang hingga tujuh generasi.
Di cerpen Sentimentalisme Calon Mayat, Johan –nama lakon cerita– sebenarnya hanya melamun. Sembari menonton di bioskop bersama kekasihnya. ”Tapi, dikemas dengan imaji ketemu mayat, kematian bapaknya,” ujar Yoga.
Sony mengungkapkan, penceritaan Johan mirip penuturan cerita Arthur Fleck, badut gagal yang lantas menjadi villain di film Joker. ”Kita enggak bisa percaya penuh kepada si narator ini. Sebab, apa yang diceritakan dari sudut pandang dia, dengan segala masalah yang dipunyai,” jelas pembaca karya Budi Darma, Putu Wijaya, dan Subagio Sastrowardoyo tersebut.
Dalam diskusi itu, karya Sony mendapat apresiasi karena gaya penceritaannya yang eksentrik dan penuturan cerita lewat diksi yang indah. Jika diibaratkan rapper, si penulis adalah Eminem. Sang raja rima. Sony menyatakan, hal itu tak terlepas dari impiannya. Yakni, menulis puisi. ”Cita-cita itu sedikit demi sedikit saya wujudkan dengan memasukkan pilihan kata yang berima di cerita,” papar Sony.
Meski demikian, dia mengakui, Sentimentalisme Calon Mayat –beserta tujuh cerita lainnya dalam buku tersebut– punya kekurangan besar. ”Tokoh-tokoh saya seperti tidak utuh, terasa seperti 2 dimensi atau 2,5 dimensi karena saya fokus dengan cerita dan kata-kata,” terang Sony.
Dia menambahkan, buku cerpen itu juga amat mungkin menjadi cetakan resmi karya fiksi terakhirnya. ”Saya takut nulis cerpen sekarang,” katanya.
Setelah menjadi dosen, dia lebih nyaman menulis karya ilmiah dan riset. Buku cerpen yang resmi dirilis bulan ini pun sebenarnya bukan idenya. Sony didesak sahabatnya, Ketua Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda) Ribut Wijoto, sejak pertengahan tahun lalu. Cerpen yang diterbitkan lahir dari hasil nongkrong di kampus Universitas Airlangga pada sekitar 1990. Sebelum naik cetak, karya Sony beredar lewat salinan yang disebar underground.
Di penerbitan, naskahnya melalui editing. Kontennya relatif sama. Namun, ada konteks yang diubah, ada pilihan kata yang dibuat lebih halus. Sony tak mempermasalahkannya. ”Memang, terasa beda ketika kata yang kasar dan lugas dibuat lebih ’mulus’ dan rapi. Tapi, saya menikmati proses dan bekerja dengan editing,” tandas Sony.