JawaPos.com- Aksi pura-pura Zulfikli Rahman, akhirnya terbongkar juga. Kemarin (23/2), dia dibekuk tim gabungan saat menyamar sebagai sukarelawan pengatur lalu lintas (Supeltas). Dua tahun buron Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo. Dia terlibat kasus penyerobotan tanah.
Tim kejaksaan menyergap pemuda 24 tahun tersebut di simpang Dusun/Desa Kenanten, Kecamatan Puri, Mojokerto. Laki-laki asal Gorontalo itu diringkus karena harus menjalani hukuman dua bulan penjara. Penangkapan Zulkifli melibatkan tim Tangkap Buronan (Tabur) Kejati Jatim, Kejati Gorontalo, dan Kejari Kabupaten Mojokerto.
Zulkifli kabur sejak 2021. Dia berstatus sebagai terpidana kasus penyerobotan tanah di tempat tinggalnya, di Desa Omuto, Biau, Gorontalo Utara. ”Yang mana terpidana ini wajib menjalani hukuman selama 2 bulan,” kata Kasi Intelijen Kejari Kabupaten Mojokerto Indra Subrata seperti dikutip Jawa Pos Radar Mojokerto.
Hukuman itu berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Gorontalo Nomor 119/ Pid/ 2020/ PT. GTO, tertanggal 26 Januari 2021. Zulkifli dinyatakan melanggar Pasal 6 Ayat 1 huruf a UU RI Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP. Terpidana kemudian ditetapkan sebagai DPO karena harus dieksekusi untuk menjalani hukuman di lapas.
”Berdasarkan DPO tersebut, dilakukan penyebaran informasi kepada satuan kejaksaan di seluruh Indonesia,” jelasnya.
Kali pertama, Zulkifli terdeteksi kabur ke Kota Surabaya. Setelah dilakukan pengecekan, pada 14 Februari 2023 lalu, Zulkifli terpantau di Mojokerto. ”Terpidana diketahui bekerja menyeberangkan jalan atau jadi Pak Ogah di simpang Dusun Kenanten,” kata Indra.
Setelah dipastikan kebenarannya, lanjut dia, Kamis (23/2) sekitar pukul 06.00 WIB, tim gabungan melakukan penyergapan. Dalam penangkapan tersebut, Memang sempat berusaha melawan petugas saat akan dibawa ke kantor Kejari Kabupaten Mojokerto, namun akhirnya Zulkifli pun tidak bisa berkutik.
”Selanjutnya, terhadap terpidana dititipkan sementara di Rutan Kejati Jawa Timur untuk dilakukan eksekusi di Lapas Gorontalo untuk menjalani hukumannya,” tandas Indra.
Mengutip putusan MA nomor 10/Pid.B/2020/PN Lbo, kasus yang menimpa Zulkilfli tersebut bermula dari sengketa tanah. Saat itu, pada 2004, orang tua Zulkifli menjual tanah kepada seseorang. Luasnya 9075 meter persegi (m2) dengan harga Rp 9 juta.
Singkat cerita, setelah ayahnya meninggal, Zulkifli dan sejumlah saudaranya merasa tidak terima. Sawah itu kemudian dibajak dengan menggunakan alat untuk ditanami. Pemilik tanah yang sudah merasa membeli pun melaporkan penyerobotan ke aparat penegal hukum.