JawaPos.com – Pelaku industri hasil tembakau (IHT) menunjukkan sikap keras terhadap rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012. Mereka menilai aturan tersebut hanya akan melukai ekonomi tanpa membawa manfaat yang diinginkan.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim Adik Dwi Putranto menyatakan, wacana revisi PP 109/ 2012 merupakan topik yang tengah menjadi pembahasan pelik di pemangku kepentingan pertembakauan. Itu setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.
“Ada tujuh poin revisi yang diperhatikan. Kami merasa bahwa revisi itu bakal membawa dampak yang buruk bagi industri,” paparnya.
Perubahan itu, antara lain, pembesaran gambar peringatan kesehatan di bungkus rokok menjadi 90 persen luas kemasan; ketentuan rokok elektronik; pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau; pelarangan penjualan rokok batangan; penegakan dan penindakan; pengawasan iklan dan promosi rokok; serta penerapan kawasan tanpa rokok (KTR).
Dia menjelaskan, amandemen peraturan itu bertujuan menurunkan prevalensi merokok anak dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen pada 2024. Masalahnya, Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mencatatkan bahwa prevalensi merokok anak usia di bawah 18 tahun turun signifikan. Dari 9,65 persen tahun lalu menjadi hanya 3,44 persen.
“Saat ini terdapat lebih dari 446 regulasi yang isinya menekan sisi produksi dan sisi konsumsi produk rokok legal. Hasilnya pun banyak menekan produksi IHT. Pada 2014, produksi IHT mencapai 346,3 miliar batang. Sedangkan, pada 2020, produksi rokok hanya 322 miliar batang,” jelasnya.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan menyampaikan, revisi tersebut bukan cara yang tepat dan solutif untuk tujuan yang ingin dicapai. Jika tetap dilakukan, akan membawa lebih banyak kehancuran bagi industri hasil tembakau legal di tanah air.