BETAPA menyenangkan menyimak tulisan Taufiqurrahman, ”Rem Sepeda di Badan Pesawat” (Jawa Pos, 21 Februari 2023). Filsafat yang dilihat sebagai disiplin yang abstrak dan rumit terasa renyah dan indah di tangan dosen Filsafat UGM tersebut. Misalan dari Ulrich Beck, filsuf Jerman, pada judul tulisannya sangat pas menggambarkan kedudukan etika dalam merespons isu baru. Ia seperti rem sepeda yang hanya menanggung dua roda harus menarik ”break” pesawat yang bertubuh besar. Ambrol!
Untuk itu, saya ingin menambah catatan di atas dengan menyodorkan tajuk yang berarti bertanya pada robot percakapan (chatbot) dan pada waktu yang mempersoalkan apakah percakapan itu menggambarkan seluruh kenyataan? Sebab, John Searle dalam Philosophy in the New Century mengetengahkan ulasan menarik. ChatGPT itu dihasilkan dari set data yang diolah oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence). Menurut Searle, kata artifisial taksa (ambigue) karena X artifisial itu berarti X yang nyata, tetapi ia bukan benar-benar X.
Pengalaman Pribadi
Sebagai dosen Living Qur’an, saya bertanya di kolom chat, what is the Living Qur’an? Menarik, ia memberikan pengantar the term Living Qur’an has been used in a few different ways, depending on the context. Here are a few possible meanings (istilah Living Qur’an digunakan di dalam sedikit cara yang berbeda, tergantung pada konteks. Di sini sedikit kemungkinan makna). Jelas bahwa konteks itu perlu hadir agar mesin itu bisa menjawab sehingga ia menyodorkan banyak kemungkinan.
Dari ketiga pengertian makna Living Qur’an yang diberikan, ia secara akurat menggambarkan tentang disiplin yang katanya secara harfiah tidak ada dalam kitab suci. Tetapi, banyak ayat yang menggambarkan pentingnya menjadikan Alquran sebagai pedoman sehari-hari, baik secara tersurat maupun tersirat. Tetapi, ketika ditanya karya-karya terkait dengan Living Qur’an, chatbot hanya menyodorkan buah pikiran yang ada di set data, yang tentu berbahasa Inggris, seperti The Living Qur’an: Understanding the Heart of Islam oleh Asma Barlas.
Sementara karya-karya sarjana Indonesia yang berbahasa Indonesia, seperti karya Ahmad Rafiq dan Abdul Mustaqim, tidak disebut. Tentu mesin penjawab itu tidak bisa disalahkan karena ia mendasarkan pada big data yang telah tersimpan di otaknya. Namun, setidaknya para dosen dan mahasiswa bisa menyempitkan pencarian informasi yang sangat diperlukan untuk pengembangan pembahasan secara lebih terperinci dan luas. Lagi pula, jawaban itu adalah hasil dari pembacaan dan penafsiran. Sementara pendidikan itu mengajarkan untuk memahami proses berpikir, bukan menghafalkan hasil.
Pencarian Bersama
Sebagai dosen filsafat keuangan saya juga mengambil manfaat dari ChatGPT, semisal takrif dari mata kuliah yang relatif tidak diajarkan di banyak perguruan tinggi. Ia adalah cabang filsafat yang menggali hakikat, makna, dan pentingnya uang dalam kehidupan manusia. Ia menimbang banyak pertanyaan terkait uang, seperti implikasi etis dan sosial, perannya dalam membentuk identitas individu dan kolektif, serta hubungannya dengan kekuasaan, politik, dan kebudayaan.
Belajar dari pengalaman di atas, karya-karya terkait dengan filsafat keuangan, selain pada mahagurunya Georg Simmel, ada banyak karya sarjana Barat yang mengulas soal ini. Lalu, apakah kita tidak pernah membahasnya sebelum para sarjana dan mesin ini membahas uang? Rhoma Irama dalam Rupiah telah mendendangkan hakikat uang dan kemampuannya membentuk jati diri individu. Tentu pelantun Judi tersebut tidak akan masuk dalam jawaban chatbox, tetapi liriknya menggambarkan refleksi yang dalam terhadap duit.
Pendek kata, hasil penyaringan data dari chatbox merupakan penapisan mesin dari begitu banyak data yang berada di belantara dunia maya. Tentu mereka yang punya akses pada mesin ini adalah kaum terpelajar. Lebih jauh, tantangannya adalah pertanyaan apa yang hendak diajukan? Karena ia tidak hanya berasal dari ketidaktahuan, tetapi pencarian eksistensial individu yang hendak menemukan makna hidup secara utuh.
Kalaupun misalnya bertanya kepada chatbox ”how can I earn money easily?” (bagaimana saya bisa mendapat duit dengan mudah?), lagi-lagi ia telah membatasi dirinya sebagai mesin model bahasa kecerdasan buatan yang bertanggung jawab untuk menyediakan saran yang sesuai dengan etika. Namun, ia menegaskan bahwa tidak ada jalan pintas untuk mendapatkan uang dengan mudah. Tetapi, ada cara-cara yang sah untuk mengumpulkan doku, yakni bekerja paro waktu, freelance, jual barang yang tidak digunakan, dan ikutan survei berbayar. Jelas, tidak ada jalan mudah untuk beruang.
Pendek kata, jawaban chatbox itu menggambarkan pencarian dari banyak orang tentang pelbagai persoalan, seperti tujuan hidup, isu akademik, dan hal remeh-temeh. Karena ia harus berlandasan etika, mesin ini tidak menjawab tatkala saya bertanya Is Donald Trump good or bad? Dengan menjawab bahwa tidak tepat menilai orang secara pribadi. Namun, sebuah sikap itu lahir dari kepercayaan dan nilai-nilai. Artinya, ada yang jauh lebih besar dari keterbatasan kecerdasan buatan, yakni kecerdasan otentik yang lahir dari kehidupan nyata, seperti Gus Dur, Romo Mangun, dan A.R. Fakhruddin.
Tiga orang yang disebut di atas adalah sosok yang bisa menjawab pertanyaan dari teladan yang diberikan tatkala masih hidup dan pesona yang dipancarkan melalui kesederhanaan. Sementara sosok robot yang bercakap itu hadir dalam bentuk maya sehingga ia tidak ada di bumi. Tetapi, ia jelas merekam dengan baik apa yang dipercakapkan orang-orang dalam dunia nyata. Kata-kata itu diuji dalam tindakan, tatkala chatbox tidak bisa menilai pribadi orang-orang, sebagai rujukan dari orang awam.
Bagaimanapun, chatbox itu diakses oleh sedikit orang yang sedang menguji pengetahuan dirinya. Ia bermanfaat bagi kaum terpelajar untuk memetakan lebih jauh pengetahuan yang berkembang untuk melahirkan cara baru melihat realitas. Tugas cendekia adalah mewujudkan ilmu menjadi budi dan bakti. Aplikasi OpenAI itu hanya alat. (*)
*) AHMAD SAHIDAH, Dosen Filsafat Keuangan Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo