JawaPos.com – Seiring dengan makin besarnya kebutuhan pengguna telekomunikasi (telko) di Indonesia, maka konvergensi layanan pun tidak dapat ditolak. Cepat atau lambat, masyarakat membutuhkan layanan telekomunikasi yang lebih cepat, lebih lancar hingga minim blank spot.
Untuk itulah, wacana mengenai teknologi Fixed–Mobile Convergence (FMC) kembali mengemuka. Teknologi ini secara ide yakni menggabungkan layanan fixed broadband dan seluler dalam satu genggaman. Wacana ini sudah sejak 2005 berkembang dan secara global banyak perusahaan telekomunikasi yang melakukannya.
FMC tidak dapat ditolak. Menurut Founder IndoTelko Forum Doni Ismanto Darwin, kedatangan konvergensi layanan fixed dan mobile di Indonesia tak bisa ditolak karena teknologi sudah mendukung dan ada kebutuhan di sisi pengguna.
“Fixed-Mobile Convergence (FMC) sudah menjadi topik sejak dua dekade lalu secara teknologi, hal ini karena pelaku usaha sadar kebutuhan pasar pasti mengarah ke konvergensi seiring digitalisasi kian kencang,” kata Doni, dalam acara diskusi IndoTelko Forum bertajuk “Entering Telecommunication Convergence Era, How to Respond?” di Jakarta, Kamis (23/2).
Dikatakan Doni, saat ini tuntutan pengguna adalah tak ingin komunikasi terputus tanpa melihat layanan akses yang digunakan. “Misalnya, ada segmen pelanggan yang ingin tetap terkoneksi dari awalnya memanfaatkan telepon rumah, berpindah keluar tetap bisa komunikasi tanpa harus ganti perangkat. FMC bisa menjawab kebutuhan ini,” ujarnya.
Doni menambahkan, dari sisi teknologi operator terlihat serius menggarap FMC dengan menggeber 5G dan fiberisasi jaringan. Belum lagi sejumlah aksi korporasi dilakukan yang mengarah pada konsolidasi layanan.
Kalau di pasar global, 23 dari 25 pemain sudah memiliki kapabiltas Fixed dan Mobile di dalam entitas yang dikuasai 100 persen. Gejala sama terjadi di Indonesia yang mana XL Axiata yang mengakuisisi LinkNet atau MyRepublic, Smartfren, dan Moratelindo yang sahamnya dikuasai Grup Sinar Mas.
“Jika kontrol dalam satu entitas akan memudahkan untuk menggelar FMC. Saya yakin FMC akan menjadi produk yang layak dijual ke pasar oleh operator untuk beberapa tahun mendatang,” paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Segara Research Institute dan Dosen Perbanas Institute Piter Abdullah mengatakan, konvergensi layanan fixed dan mobile broadband harus dilakukan secara bertahap karena jika dilakukan sekaligus, biayanya besar.
Piter menambahkan, ia setuju jika konvergensi layanan telko tidak dapat ditolak. Sebab dengan telko melakukan konvergensi fixed dan mobile di usaha atau bisnisnya dulu, akan membuka peluang konvergensi di bidang lainnya.
Ia juga mendukung adanya konvergensi layanan telko lantaran yakin layanan FMC yang dihasilkan tidak akan membenani konsumen, terutama dari sisi harga. “Yang namanya bisnis akan utamakan customer, kalau enggak harga yang murah ya layanan yang bagus,” kata Piter dalam diskusi tersebut.
Saat ini, diketahui beberapa inisiasi menuju FMC sudah dilakukan operator seperti XL Axiata, Smartfren, hingga TelkomGrup. Analis BRI Danareksa Niko Margaronis mengatakan, untuk pemain seperti TelkomGrup di sisi konsumer mobile sama fixed mau tidak mau harus digabung. “Karena kalau tidak dilakukan Telkom ya operator lain akan lakukan,” kata Niko.
Menurut dia, operator telko ke depannya harus menjalankan layanan 5G dan FMC secara bersama-sama, bukan memilih salah satu di antara keduanya. Layanan fixed sendiri lebih menghasilkan revenue dibanding 5G.
Layanan 5G mungkin akan lebih luas ada 2024, namun dengan penggabungan layanan ini operator bisa pasarkan layanan internet, OTT, IoT untuk rumah. “FMC basisnya, supaya operator bisa jualan, offering (layanan) harus komprehensif,” lanjut Niko.
Diprerdiksinya, 5G mungkin akan lebih luas ada 2024, namun dengan penggabungan layanan ini operator bisa pasarkan layanan internet, OTT, IoT untuk rumah. “FMC basisnya, supaya operator bisa jualan, offering (layanan) harus komprehensif,” tandas Niko.