JawaPos.com – Penyitaan hingga perampasan aset yang tidak terkait tindak pidana korupsi berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Perampasan aset bisa dilakukan aparat penegak hukum, jika suatu perkara telah dinyatakan berkekuatan hukum tetap.
Pakar Hukum Pidana Suparji Ahmad menjelaskan, kebijakan formulatif perampasan aset hasil tindak pidana korupsi terdapat pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Undang-undang 20 Tahun 2001. Dia mengutarakan, kebijakan perampasan aset dalam rangka memenuhi uang pengganti, melalui mekanisme hukum pidana hanya dapat dirampas jika pelaku kejahatan telah dijatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap oleh pengadilan.
“Sehingga apabila putusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap, maka pidana tambahan berupa perampasan aset maupun uang pengganti tidak dapat dieksekusi,” kata Suparji dalam keterangannya, Jumat (30/7).
Hal ini menyikapi langkah Kejaksaan Agung yang melakukan perampasan aset masyarakat maupun korporasi yang diduga tidak terkait dengan kasus korupsi Jiwasraya-Asabri.
“Perampasan aset yang tidak dapat dibuktikan secara sah asal-usul dari aset tersebut, perampasannya tidak dapat dibenarkan,” ucap Suparji.
Jika dikaitkan dengan HAM, sambung Suparji, perampasan aset yang tidak dapat dibuktikan di muka persidangan maupun belum berkekuatan hukum tetap dapat menimbulkan pertentangan dengan asas praduga tak bersalah.
“Hak atas kepemilikan aset oleh warga negara harus dilindungi dan dihormati oleh negara. Sehingga terdakwa perlu menjelaskan dimuka persidangan bahwa aset tersebut didapat secara sah, dan mengajukan keberatan di pengadilan sesuai Pasal 79 ayat 5 UU TPPU,” ujar Suparji.
Berdasarkan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, menurut Suparji, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Dalam putusannya, hakim untuk berhati-hati melihat bahwa barang sitaan harus memenuhi kriteria yang diatur dalam Pasal 39 ayat 1 KUHAP juncto Pasal 18 UU Tipikor. Sementara dalam konteks Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2020 tentang TPPU menyebut, pihak ketiga yang beriktikad baik didefinisikan sebagai mereka yang sama sekali tidak terlibat dalam proses kejahatan pidananya, tidak menyadari keberadaannya digunakan atau dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.
“Terlebih tidak memiliki hubungan dan tidak dalam kekuasaan ataupun perintah pelaku TPPU,” ungkap Suparji.
Senada juga disampaikan, pakar hukum pidana Patra M Zen. Dia menyampaikan, hukum pidana di Indonesia sangat terbatas mengatur perlindungan hukum pihak ketiga yang beritikad baik (bona fide third parties) dalam kaitannya dengan hak atas harta kekayaan.
“Akibatnya, terjadi ketidakadilan dan pelanggaran hak atas kekayaan pihak ketiga dalam proses hukum perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang,” papar Patra.
Dia memandang, putusan untuk merampas aset, baik itu merupakan barang bukti ataupun aset yang diduga terkait tindak pidana, harus dibuktikan melalui pemeriksaan dan verifikasi.
“Seringkali majelis hakim tidak menguraikan dasar alasan serta alat bukti untuk mendukung keyakinannya dalam putusan perampasan aset. Hal ini, menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran hak bagi pihak ketiga yang beriktikad baik dalam suatu perkara,” urai Patra.
Dia tak memungkiri, dalam Pasal 19 UU Tipikor sebetulnya bisa menjadi jalan bagi pihak yang keberatan untuk mengajukan gugatan perdata. Tetapi memang hanya sedikit aturan mengenai perlindungan pihak ketiga.
“Masalahnya mereka tidak pernah dihadirkan dan diperiksa untuk membuktikan harta kekayaan yang disita dalam sidang perkara terdakwa,” pungkasnya.