JawaPos.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga presenter televisi swasta, Brigita Manohara turut mendapatkan mobil dari Bupati nonaktif Mamberamo Tengah, Ricky Ham Pagawak. Mobil itu diduga berasal dari uang hasil korupsi yang dilakukan sang bupati.
“Memang bahwa informasi sebelumnya ada dugaan ada penerimaan mobil itu,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri dikonfirmasi, Rabu (22/2).
Ali mengakui, KPK juga sudah menerima uang dari Brigita Manohara sebesar Rp 480 juta. Uang itu merupakan keseluruhan pemberian dari Ricky kepada Brigita.
Namun, KPK belum mengetahui apakah uang senilai Rp 480 juta itu, termasuk nilai mobil yang diberikan Ricky kepada Brigita.
“Itu akan kami tanyakan lebih lanjut, apakah Rp 480 juta itu senilai mobil yang diserahkan ataukan seperti apa, ya. Tetapi sejauh ini uang cash yang diserahkan,” ucap Ali.
Sementara itu, Brigita Manohara menegaskan, dirinya sudah mengembalikan semua pemberian Ricky Ham Pagawak ke KPK pada 2022 lalu.
“Aku sudah balikin semua pemberian tersangka yang diduga hasil korupsi tahun lalu,” tegas Brigita kepada JawaPos.com.
KPK sebelumnya telah resmi menahan Bupati Memberamo Tengah, Ricky Ham Pagawak. KPK menduga, Ricky Ham menikmati aliran uang suap, gratifikasi dan pencucian uang hingga Rp 200 miliar
Penahanan terhadap Ricky Ham Pagawak ini dilakukan, setelah KPK melakukan upaya paksa penangkapan. KPK berhasil menangkap Ricky Ham yang masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak Juli 2022.
“Sejauh ini terkait dugaan suap, gratifikasi dan pencucian uang yang dinikmati RHP sejumlah Rp 200 miliar dan hal ini terus didalami dan dikembangkan oleh tim penyidik,” ucap Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (20/2).
Firli menjelaskan, Ricky Ham yang menjabat Bupati Mamberamo Tengah, Provinsi Papua selama dua periode yaitu pada 2013-2018 dan 2018-2023, banyak mengerjakan proyek pembangunan infrastruktur. Dengan kewenangan sebagai Bupati, Ricky Ham diduga menentukan sendiri para kontraktor yang nantinya akan mengerjakan proyek dengan nilai kontrak pekerjaannya mencapai belasan miliar rupiah.
“Syarat yang ditentukan RHP, agar para kontraktor bisa dimenangkan antara lain dengan adanya penyetoran sejumlah uang,” papar Firli.
Sejauh ini terdapat tiga kontraktor yang diduga terlibat suap dan gratifikasi terhadap Ricky Ham. Mereka yakni
Direktur PT Solata Sukses Membangun, Marten Toding; Direktur Utama PT Bumi Abadi Perkasa, Jusieandra Pribadi Pampang; Direktur Utama PT Bina Karya Raya/Komisaris Utama PT Bumi Abadi Perkasa, Simon Pampang.
Ricky Ham kemudian bersepakat dan bersedia memenuhi keinginan dan permintaan Simon Pampang. Kemudian, Jusieandra Pribadi Pampang dan Marten Toding memerintahkan pejabat di Dinas Pekerjaan Umum untuk mengondisikan proyek-proyek yang nilai anggarannya besar diberikan khusus pada ketiga kontraktor tersebut.
“JPP diduga mendapatkan paket pekerjaan 18 paket dengan total nilai Rp 217,7 miliar, di antaranya proyek pembangunan asrama mahasiswa di Jayapura. Sedangkan SP diduga mendapatkan enam paket pekerjaan dengan nilai 179,4 miliar. Adapun MT mendapatkan 3 paket pekerjaan dengan nilai Rp 9,4 miliar,” ungkap Firli.
Realisasi pemberian uang pada Ricky Ham dilakukan melalui transfer rekening bank, dengan menggunakan nama-nama dari beberapa orang kepercayaannya. KPK menduga, Ricky Ham juga menerima sejumlah uang sebagai gratifikasi dari beberapa pihak.
“Kemudian diduga juga dilakukan tindak pidana pencucian uang berupa membelanjakan, menyembunyikan maupun menyamarkan asal usul dari harta kekayaan yang berasal dari korupsi,” tegas Firli.
Selama proses penyidikan, lanjut Firli, tim penyidik telah memeriksa 110 orang sebagai saksi, dan juga melakukan penyitaan berbagai aset bernilai ekonomis. Aset yang disita itu di antaranya berbagai bidang
tanah dan bangunan serta apartemeb yang berlokasi di Kota Jayapura, Provinisi Papua, Kota Tangerang, Provinsi Banten dan di Jakarta Pusat serta beberapa unit mobil mewah dengan berbagai tipe.
Ricky Ham Pagawak disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.