JawaPos.com – Koalisi Masyarakat Sipil menyesalkan langkah Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang melayangkan somasi kepada Indonesia Corruption Watch (ICW). Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reforme (ICJR) Erasmus Napitupulu meminta Moeldoko untuk bisa menghormati proses demokrasi, terkait hasil investigasi ICW mengenai bisnis obat Covid-19 yakni Ivermectin.
Somasi itu dilayangkan Moeldoko lantaran dituding oleh ICW, terlibat dalam promosi maupun bisnis Ivermectin di tengah pandemi Covid-19. Moeldoko merasa geram atas tuduhan itu, sehingga melayangkan somasi ke ICW.
“Moeldoko untuk menghormati proses demokrasi yaitu kritik dari hasil penelitian yang dilakukan oleh ICW dan lebih berfokus pada klarifikasi pada temuan-temuan dari penelitian tersebut,” kata Erasmus dalam keterangannya, Jumat (30/7).
Erasmus mengutarakan, praktik pembungkaman atas kritik masyarakat kembali terjadi. Sebab KSP Moeldoko, melalui kuasa hukumnya Otto Hasibuan melayangkan somasi kepada ICW terkait dengan penelitian tentang polemik Ivermectin. Somasi tersebut berisi niat Moeldoko untuk menempuh jalur hukum dengan melaporkan ICW ke pihak berwajib.
“Tentu langkah ini amat disayangkan, sebab, semakin memperlihatkan resistensi seorang pejabat publik dalam menerima kritik,” tegas Erasmus.
Penting ditekankan, ICW sebagai bagian dari masyarakat sipil sedang menjalankan tugasnya dalam fungsi pengawasan terhadap jalannya proses pemerintahan. Hal yang mana sangat lazim dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil lainnya, sebagai bentuk partisipasi untuk memastikan adanya tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Terlebih lagi, lanjut Erasmus, ICW menuangkan pendapatnya dalam sebuah penelitian yang didasarkan atas kajian ilmiah dengan didukung data dan fakta. Sehingga, tidak salah jika dikatakan bahwa langkah Moeldoko, baik somasi maupun niat untuk memproses hukum lanjutan, merupakan tindakan yang kurang tepat dan berlebihan.
“Semestinya pemerintah membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memberikan masukan dalam proses penanganan Covid-19 ini. Namun, alih-alih dilaksanakan, Moeldoko selaku bagian dari pemerintahan justru menutup celah tersebut dengan mengedepankan langkah hukum ketika merespon kritik dari ICW. Padahal, penelitian ICW masih bertalian dengan konteks terkini, yaitu upaya pencegahan korupsi di sektor farmasi,” tegas Erasmus.
Menurutnya, langkah Moeldoko yang ingin melaporkan ICW ke aparat penegak hukum merupakan upaya pemberangusan nilai demokrasi. Patut dipahami, peraturan perundang-undangan telah menjamin hak setiap masyarakat atau organisasi untuk menyatakan pendapat.
“Mulai dari Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, Pasal 23 jo Pasal 25 jo Pasal 44 UU Hak Asasi Manusia, Pasal 8 ayat (1) UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 41 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, jaminan tersebut juga dituangkan dalam berbagai kesepakatan internasional, diantaranya Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 23 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN,” papar Erasmus.
Terlepas dari rangkaian pengabaian regulasi terkait hak menyatakan pendapat, kata Erasmus, langkah Moeldoko ini pun berpotensi besar menurunkan nilai demokrasi di Indonesia. Dia mengutarakan, pada awal Februari lalu, The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3.
“Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, Indonesia mendapatkan rapor merah karena adanya penurunan skor yang cukup signifikan. Maka dari itu, praktik pembatasan hak berpendapat, terlebih kritik dari masyarakat perlu untuk dihentikan,” ujar Erasmus.
Selain itu, jika Moeldoko tetap memuluskan langkahnya, maka telah melanggengkan praktik kriminalisasi terhadap organisasi masyarakat sipil. Merujuk data SAFENet, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kriminalisasi menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik banyak menyasar masyarakat dari berbagai kalangan, misalnya aktivis, jurnalis, hingga akademisi.
“Mirisnya, mayoritas pelapor justru pejabat publik. Ini menandakan belum ada kesadaran penuh dari para pejabat dan elit untuk membendung aktivitas kriminalisasi tersebut, guna mendorong terciptanya demokrasi yang sehat di Indonesia,” sesal Erasmus.
Jika hasil penelitian ICW dimaknai sebagai delik pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik jo KUHP, maka penting untuk dijelaskan lebih lanjut. KUHP pada dasarnya memuat tentang alasan pembenar yang relevan ketika dikaitkan dengan penelitian ICW, yakni Pasal 310 ayat (3) KUHP tidak merupakan pencemaran, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum.
Sebab, ICW memaparkan temuan dalam konteks kepentingan pemerintah untuk mencegah adanya praktik rente dan conflict of interest (CoI) di tengah situasi kritis akibat pandemi Covid-19, hal yang jelas berhubungan dengan kepentingan publik.
Permasalahan lain juga tampak ketika yang digunakan adalah UU ITE. Hal ini dikarenakan adanya Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam dokumen tersebut, kata Erasmus, tepatnya bagian Pasal 27 ayat (3) bagian c disampaikan bahwa bukan delik pencemaran nama baik jika muatannya berupa penilaian atau hasil evaluasi. Pernyataan yang dikeluarkan ICW, menurut Erasmus, lahir dari sebuah penelitian yang memiliki metode, data dan referensi yang jelas.
“Tentu ini telah memenuhi ketentuan tersebut karena telah melewati proses penilaian dan evaluasi atas suatu isu yang menjadi perhatian masyarakat,” tegas Erasmus.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar Moeldoko mencabut somasi dan mengurungkan niat untuk melanjutkan proses hukum terhadap ICW.
“Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum agar tetap pada komitmen untuk menjaga demokrasi di Indonesia dengan mengimplementasikan hukum dan kebijakan yang sudah dibuat untuk kepentingan masyarakat dan bukan untuk pemberangusan,” pungkasnya.