SENYUM gadis berambut lurus itu terus terkembang. Nada bicaranya juga riang. Tawanya sesekali berderai saat berbincang dengan Jawa Pos pada Rabu (15/2) lalu. ’’Pertama didiagnosis kanker di usia 5 tahun. Yang kedua, relaps, di usia 14 tahun,” katanya.
Perempuan yang April nanti genap 22 tahun itu bernama Nurul Yoandari. Dia pernah dua kali mengidap kanker. Tepatnya, leukemia. Namun, kini tubuh langsingnya sudah bebas dari sel-sel ganas tersebut.
Nurul menjadi simbol harapan bagi Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI). Yayasan yang menaungi banyak penyintas kanker anak itu menjadikan kesembuhan Nurul sebagai semangat untuk anak-anak lainnya. Harapan selalu ada. Karena itu, para penyintas kanker tidak boleh menyerah dan tetap mengupayakan kesembuhan.
”Jangan stres, cari aktivitas,” ucap Nurul. Kesehatan mental, menurut dia, adalah faktor terpenting dalam proses penyembuhan. Dia menyebut dukungan moral dari keluarga dan sesama penyintas kanker sebagai energi positif. Karena itu, berbaur dengan sesama penyintas kanker adalah aktivitas yang sangat dia sarankan.
Bertukar cerita atau beraktivitas bersama sesama penyintas kanker benar-benar efektif untuk mencegah stres. Bagi penyintas kanker, stres membahayakan imunitas. Jika daya tahan tubuh menurun, upaya penyembuhan akan menjadi semakin sulit. ’’Kalau upaya pengobatan dirasa kurang, lebih baik bergabung dengan yayasan kanker. Ini penting,” ucapnya.
Bagi Nurul, kesembuhannya setelah kali pertama divonis leukemia di usia 5 tahun dan kambuh saat remaja adalah peristiwa bersejarah. Dia menyebut kisahnya itu sebagai kristalisasi upaya menjaga kesehatan mental, semangat keluarganya yang tidak pernah putus, dan dukungan YKAKI. ’’Sehingga peluang untuk sembuh itu meningkat,” ungkapnya.
Dalam upaya penyembuhannya dari kanker yang pertama, Nurul pernah mengalami koma. Selama tidak sadarkan diri itu, sang mama selalu mendampingi. ’’Mamaku selalu berdoa sembari membisikkannya ke telingaku,” ujar putri Sri Yulianto itu.
Papa Nurul, Iwan Hermawan, mengaku nyaris putus asa ketika anaknya menghadapi masa kritis. Namun, Sri selalu menguatkan sang suami. ’’Mama yakin aku bisa melewati masa kritis. Dan itu benar terjadi,” ujar Nurul.
Pada awal 2009, setelah dua tahun menjalani perawatan intensif dan menempuh 110 kali kemoterapi, Nurul dinyatakan sembuh. Namun, enam tahun kemudian, dia relaps. Leukemianya kambuh. Nurul menduga, kanker kembali menggerogoti tubuhnya karena gaya hidup dan preferensi makanan yang tidak dijaga dengan baik. ’’Jajan ya sembarangan,” katanya.
Nurul remaja menjalani hari-harinya sebagai penyintas kanker dengan berat. Apalagi, dokter menyebut bahwa sel kankernya sudah menyebar hingga ke tulang sehingga mengakibatkan osteopenia. ’’Usia sudah 14 tahun, sudah mulai mengerti seberapa berbahayanya kanker,” ungkapnya. Fakta itu membebani Nurul secara mental. Dia stres.
Masa remaja Nurul terpaksa lebih banyak dihabiskan di rumah sakit. ’’Tidak ada teman, tidak bisa curhat, tidak ada aktivitas. Stres sendiri jadinya,” ceritanya.
Karena itulah, orang tua Nurul membawanya ke YKAKI. Dia lantas tinggal di sana bersama teman-teman seperjuangan, sesama penyintas kanker. Berbaur bersama teman sebaya membangkitkan kembali semangat Nurul yang sempat redup. Dia pun terpicu untuk kembali sembuh.
’’Adanya teman dan aktivitas membuat bersemangat dan merasa bahagia. Merawat mental ini yang penting,” tegas Nurul.
Di YKAKI, makanan para penyintas kanker jelas terjaga. Selain itu, mereka bisa melanjutkan sekolah. Ada guru khusus di YKAKI yang bisa mentransfer nilai-nilai akademis anak-anak seperti Nurul ke sekolah paket. Dengan demikian, para penyintas kanker anak tidak perlu putus sekolah karena harus menjalani perawatan intensif. ’’Pendidikan tidak boleh tertinggal,” paparnya.
Setelah menjalani 110 kali kemoterapi dalam kurun waktu dua tahun dan infus vitamin tulang sebanyak 9 kali, Nurul kembali dinyatakan sembuh pada 2015. ’’Dokter bilangnya keajaiban, karena sudah parah sampai menyebar ke tulang,” pungkasnya.