Galahku Janur Kuning
Bintang kugalah, bulan kudapat
Galahku janur kuning
Kakak sirna kian jauh
Sejauh alun-alun
Galahku rebah jadi jembatan
Mematri kakiku dengan Surabaya
Tetapi Surabaya adalah cakrawala
Dan cakrawala adalah selaput dara
Yang kusibak dengan mata kelana
Inilah Madura:
Di sini kita melahirkan manusia
Memandang ufuk bagai emas dan besi
Debu dan doa menjelma serbuk roti
Tapi takkan pernah menjadi salwa
(Dan selat kita bukan Sungai Salsabila)
Sebab galahku janur kuning
Yang hanya melambai salam
Kepada burung-burung terbang
Ke surga dan bintang-bintang
Kupahami, mimpimu tanah bludru
Dengan angkasa bersemat syams biru
Mimpimu menggulung jazirah
Yang menyalib bayi-bayi
Di antara bukit dan lembah
Bayi-bayi itu anak pria dan kakakku
Di manakah kakakku sirna dan jauh?
Ia mati sebagai zaman lapar
Dan ’kan bangkit lagi
Dengan salwa dan salsabila
Tetapi galahku janur kuning
Yang cuma membawa igau bludru
Dan langit syams biru
2022
—
Sebuah Tangisan Malam di Kota Syahbandar
Mereka bersumpah tangisan itu
menyayat malam dan subuh.
’’Jangan menangis,
sebab kota ini menggigil
karena rintih dan perih.’’
Tapi seekor cabak Mei berkata,
’’Tangisan itu tak pernah tidur.
Meratap kelam dan minum anggur.’’
Di kota ini
seorang nelayan merajut jala
dan seseorang menganyam air mata
sambil menunggu pilu tiba
di ambang pintu terbuka.
Di kota ini
ia menangis dan menangis,
menangis dan menangis lagi.
Empat tangisan
yang gemetar di bibirnya
malam ini.
2022
—
Di Batas Kaduara
– Fahrus Refendi
Aku gerah dan terbelah
di antara pasir dan kasidah.
Tubuhku hanyut
bahasaku karam
di panas payudara
kedua Kaduara.
Maka inilah masyriq tanah airku
dan maghrib syair-syairmu
yang menjadi fajar
di teluk perawan
dan sembahyang
di punggung salam.
Gusti,
aku hangus
di Ngarai Jabal
Jalali wal Ikram
dan bangkit kembali
sebagai pria dewasa
di abu jenazah kata-kata.
2022
—
ROYYAN JULIAN
Menulis buku puisi Biografi Tubuh Nabi (2017). Buku puisinya, Korpus Ovarium (2022), menjuarai Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2021.