Pemula visioner berpotensi menjadi inspirator yang melampaui zaman. Ia menjadi pembanding sekaligus parameter pencapaian bagi setiap generasi. Dalam ranah olahraga lazim disebut rekor. Dalam kesenian lebih menimbang dampak dari suatu pemikiran, tindakan, dan temuan. Kasus-kasus inspirasi bidang olahraga dan kesenian tetap menarik dipercakapkan sebagai bahan renungan.
—
ANGKA 10 (sepuluh) dan 7 (tujuh) lebih dari sekadar nomor punggung, tetapi menjelma menjadi merek, citra, dan kode kebudayaan. Mula-mula nomor 10 dikenakan oleh Pele (Edson Arantes do Nascimento) atau disebut pula ”O Rei” (Sang Raja), kemudian dipilih oleh Diego Armando Maradona dan Lionel Andres Messi. Demikian pun nomor 7 dipilih Cristiano Ronaldo atau CR7. Kepiawaian bermain hingga gaya selebrasi mereka dirayakan di mana-mana, dan memotivasi orang muda.
Ketika pada 29 Desember 2022 Pele berpulang di usia 82 tahun, segera terasa bahwa ia mewariskan keagungan karena pencapaian dan reputasinya. Berbagai testimoni dari para tokoh seperti ”semua yang Anda lihat dilakukan pemain mana pun, Pele yang memulainya”, ”sepak bola hanyalah olahraga biasa, dan Pele mengubah segalanya”, ”Pele melakukannya terlebih dahulu”, dan masih banyak lainnya meneguhkan siapa Pele. Dua buku rujukan utama, Pele: The Autobiography (2007) dan Pele: Soccer Star & Ambassador (2014) oleh Brian Trusdell. Pele bervisi dan bertindak dalam kerja kebudayaan: belajar, terampil, menginspirasi, dan menggerakkan. Pencapaiannya tidak sebatas untuk kesenangan pribadi, tetapi inspirasi untuk warga dunia.
Dalam bidang lain kita mengenal nama Tirto Adhi Soerjo, Mochtar Lubis, Umar Kayam, Rendra, R.J. Katamsi, Affandi, S. Sudjojono, Rusli, Nashar, Hendra Gunawan, Edhi Sunarso, G. Sidharta Soegijo, Amri Yahya, Fadjar Sidik, Widayat, Mochtar Apin, Srihadi Soedarsono, Popo Iskandar, Syumandjaja, Teguh Karya, Remy Sylado, dan lainnya, yang meneguhkan dirinya menjadi inspirator dan duta zaman. Pencapaian dan reputasi mereka menjadi warisan penting bagi generasi berikutnya, bagi bangsa, bahkan bagi dunia.
Pencapaian dan Ekosistem
Pele –mungkin juga Affandi, Sudjojono, atau Rendra– mencapai ”puncak” bukan karena ditopang oleh ekosistem yang mapan, bahkan sebaliknya di tengah zaman yang bergolak. Merekalah yang menciptakan –atau setidaknya menantang– agar semua menjadi profesional dan sistemik. Pele dianggap sebagai peletak dasar ”budaya bola” hingga melampaui sekadar permainan. Pele meyakini sepak bola dengan ”O Jogo Bonito” (permainan indah) yang mengubah sepak bola menjadi ”seni”, mengolah keterampilan untuk memenangi pertandingan, tubuhnya menjadi iklan berjalan, sepak bola untuk upaya perdamaian, dan kini menjadi industri di mana lalu lintas uang sering mencengangkan. Sepak bola menjadi industri perlu kelengkapan regulasi sebagai aturan main untuk disepakati bersama. Kode etik disusun sebagai pegangan moral dan ”hukum”.
Budaya Bola dan Seni
Pele pantas menyandang predikat budayawan, menjadi titik refleksi. Membaca liputan media, bagaimana tragedi memilukan di Stadion Kanjuruhan, Malang, berbagai bentrokan antar pendukung, praktik intimidasi pada wasit, praktik suap dan sepak bola ”main mata”, atau yang terbaru bagaimana bus yang membawa tim nasional Thailand dihadang suporter Indonesia menjelang pertandingan di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, sebagai bentuk intimidasi, sungguh menyedihkan. Para ”pejabat sepak bola”, para penonton atau pendukung tim secara vulgar mengabaikan sportivitas yang menjadi nilai utama dalam olahraga (dan seni). Mengabaikan laku jujur penuh respek pada siapa pun, termasuk lawan. Memburu kemenangan tak selayaknya disandang melalui praktik curang, jika perlu dengan kekerasan. Bermain sepak bola adalah praktik berkebudayaan; mengasah keterampilan diri, berkemampuan bekerja sama, disiplin, memberi umpan/dukungan kawan untuk menciptakan gol, lari, lempar, bertahan, menyerang, dan seterusnya, untuk meraih kemenangan dengan terhormat. Sebaliknya, jika terpaksa kalah bisa tetap dengan kepala tegak meninggalkan arena, bahkan mendapatkan tepuk tangan.
Demikian pun dalam gelanggang kesenian, sepenuh-penuhnya semestinya bertumpu pada watak jujur, otentik, saling mendukung (bukan menelikung), menghargai pencapaian siapa pun meski itu kompetitor, tanpa kehilangan sikap dan cara pandang kritis. Kerja seni yang pada umumnya cenderung individual –kecuali memilih pendekatan kolektif, partisipatoris, dan emansipatoris yang menyediakan diri untuk tenggelam dalam anonimitas– memang tak mudah mendorong terciptanya ekosistem yang sistemik. Berbeda dengan Pele, kerja dan pencapaian individunya berada (sekaligus tunduk) pada regulasi ketika berada dalam arena. Kebintangan Pele dengan efektif dan kuat merepresentasikan Santos, Brasil, dan ”budaya bola”; bola yang indah, individu terdidik, dan penuh peradaban.
Seniman –dalam varian bidangnya– idealnya menjadi pendorong terciptakan ”budaya seni”: ihwal keindahan, keterpelajaran, keterdidikan, sikap respek, kritis, berpihak, dan menggerakkan. Seniman yang tidak hanya sukacita atas keberhasilan dirinya, tetapi yang memiliki kapasitas merepresentasikan kesenian, kemanusiaan, kebangsaan, kewargaan, dan keindonesiaan.
Kita menunggu hadirnya olahragawan/wati, juga seniman yang kehadirannya melampaui nomor punggung; melampaui identitas corak keseniannya. (*)
SUWARNO WISETROTOMO, Pengajar di Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Jogjakarta/kurator Galeri Nasional Indonesia