Video Presiden Jokowi menolak menjawab pertanyaan wartawan tentang kelanjutan pengusutan tragedi Kanjuruhan yang menelan korban 135 orang dengan mengatakan ’’saya jawab di lain waktu”, yang langsung disambut tawa lepas pejabat tinggi di samping kanan dan kirinya, adalah tragedi di atas puncak tragedi.
—
SAYA jawab di lain waktu kini menjadi ikon baru dari gaya komunikasi Jokowi. Sebelumnya, Presiden sudah dikenal dengan jawaban ikoniknya Ya ndak tahu, kok tanya saya. Saking populernya jawaban ini, publik sampai membuat singkatannya jadi YNTKTS. YNTKTS menjadi sebuah kode satire sekaligus ikon populer dari pemerintahan Jokowi. YNTKTS menjadi meme yang disebarluaskan melalui berbagai medium; dari gambar di internet, sablon kaus, hingga lagu. Orang-orang pun sering menggunakan YNTKTS dalam percakapan, menjadikan YNTKTS kian populer hingga jadi diksi baru dalam masyarakat.
Dalam beberapa meme, momen Jokowi mengucapkan YNTKTS disandingkan dengan video Soeharto menanggapi seorang anak kecil yang bertanya kenapa hanya ada satu presiden. Soeharto dengan senyumnya yang khas menjawab: Kok kamu tanya begitu, siapa yang suruh. Dalam konteks pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan gaya kepemimpinan ala Jawa khas Soeharto yang gemar menyembunyikan apa maksud sesungguhnya, jawaban dan senyum Soeharto ketika menjawab si anak kecil itu bisa bermakna sebuah ancaman.
Bisa jadi makna sebenarnya di balik pertanyaan Soeharto ’’kok kamu tanya begitu, siapa yang suruh” itu adalah kecurigaan bahwa anak kecil itu memang disuruh oleh seseorang yang merupakan oposisi, musuh politik, atau orang yang berambisi untuk menurunkannya dari kursi kepemimpinan. Bisa jadi, di balik senyum Soeharto itu ia sedang merencanakan untuk mencari orang yang dicurigai menyuruh si anak kecil tersebut, lalu memberikan pelajaran kepada orang itu.
Pengandaian ini memang tak bisa dibuktikan kebenarannya. Tapi, pengandaian yang juga sudah menjadi bagian dari guyonan umum masyarakat ketika membicarakan Soeharto ini lahir dari fakta-fakta historis atas apa yang terjadi sepanjang pemerintahan Orde Baru. Sebagaimana guyonan lain yang sering diulang dari mulut ke mulut tentang makna dari ucapan-ucapan Soeharto lainnya. Misalnya, cerita tentang seorang pejabat menghadap Soeharto dan meminta izin untuk melakukan suatu hal, lalu Soeharto menjawab ’’sak karepmu” yang secara harfiah berarti terserah, namun ternyata maksudnya adalah ketidaksetujuan atas apa yang disampaikan si pejabat. Dengan gaya komunikasi macam ini, setiap orang dituntut untuk paham apa yang tersirat dan lihai menebak-nebak apa maksud dari Si Bapak.
Gaya kepemimpinan seperti ini tentu saja sangat tidak konsisten, penuh ketidakpastian, dan berbahaya. Bayangkan apa yang akan terjadi kepada pejabat-pejabat yang salah mengartikan ucapan dan kemauan Soeharto?
Jadi, alih-alih fokus pada bagaimana melaksanakan tugas dan kewajiban, pejabat negara masa Orde Baru sibuk menebak-nebak maksud Soeharto. Dengan demikian, orang-orang yang bisa menebak maksud Soeharto inilah yang bisa dekat dengan sang presiden dan mempunyai kekuasaan. Bukan orang-orang yang punya prestasi, pandai, dan jujur.
Seperti Soeharto yang gaya komunikasi dan berbahasanya serentak diikuti oleh para pejabat Orde Baru lainnya, gaya menghindar Jokowi juga menjadi pedoman untuk para menterinya.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, misalnya, menghindar untuk menjawab pertanyaan wartawan soal tragedi Kanjuruhan setelah terpilih menjadi ketua umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan hanya berkata, ”Nanti kita ngomong.”
Padahal, pada saat kampanye pemilihan ketua umum PSSI telah banyak beredar spanduk-spanduk yang menyatakan bahwa Erick Thohir menolak lupa tragedi Kanjuruhan.
Pengadilan kasus Kanjuruhan memang sedang berjalan. Tetapi, mereka yang duduk sebagai terdakwa adalah petugas-petugas lapangan. Dengan tragedi yang demikian besar dan menjadi sorotan dunia ini, sulit bagi kita percaya bahwa pihak yang bersalah hanya lima orang ini.
Yang menjadi pertanyaan, apa sulitnya bagi Jokowi sebagai presiden atau Erick Thohir sebagai ketua umum PSSI untuk menjawab pertanyaan yang menjadi suara hati jutaan rakyat Indonesia yang mendambakan keadilan dan keberlangsungan hidup sepak bola negara ini?
Mengapa Jokowi tidak menjawab saja bahwa saya sudah perintahkan untuk mencari dalang di belakang tragedi ini dan pemerintah akan memberi keadilan bagi keluarga korban? Atau, Erick bisa menjawab bahwa PSSI akan mendukung penuh pencarian keadilan bagi korban tragedi ini dan akan berdiri bersama keluarga korban dalam proses hukum yang adil.
Terdapat tiga kemungkinan mengapa mereka menghindar menjawab pertanyaan ini atau pertanyaan-pertanyaan penting bagi rakyat lainnya. Pertama, mereka takut salah jawab karena mereka tidak tahu perkembangan kasus tersebut lantaran tidak peduli dan mengharapkan masyarakat melupakannya saja. Yang kedua, mereka tidak mau jawaban mereka akan menyudutkan kepolisian, lembaga yang rupanya mereka segani, padahal seharusnya direformasi total. Yang ketiga, mereka tahu persis kasus ini sengaja dibuat kabur dan ditutup-tutupi untuk tidak lebih jauh merugikan mereka yang berada di lingkar kekuasaan.
Jika kemungkinan-kemungkinan tersebut benar, Indonesia berada dalam masalah besar. Jika pemimpin-pemimpin puncak Indonesia saja takut dan lari dari masalah serta tidak berani mengambil risiko, akan dibawa ke mana bangsa ini?
Tapi, mudah-mudahan saya salah dan terdapat kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih masuk akal dan lebih membawa harapan. Dan mudah-mudahan jawabannya tidak harus menunggu lagi di lain waktu. (*)
—
*) OKKY MADASARI, Sastrawan dan akademisi