Setelah membaca kisah Olenka, terus terang aku kesengsem sekali sama dia. Ingin sekali aku menjadi dirinya. Paling tidak menirukan gaya hidupnya. Berjalan ke mana-mana sendiri. Membaca buku-buku yang aku sukai, sendiri. Tidak ada rencana. Tidak perlu berbasa-basi sama siapa pun. Tidur di tengah taman kota. Duduk melamun semalaman di pinggir jalan. Berjalan kembali di tengah keramaian tanpa dikenali dan diketahui. Bersembunyi di sebuah gudang tua, dan sudah pasti tidak ada yang mencari atau kehilangan.
BISA tidak ya? Soalnya aku sudah telanjur banyak teman. Apalagi di Kota Mantero sekecil ini. Siapa yang tidak kenal aku? Teman TK. Teman SD. Teman SMP. Teman SMA. Teman kuliah. Teman kampung. Teman gowes. Teman pencinta kopi. Teman ewes-ewes. Beda dengan Olenka. Dia di kota besar. Hidup sepi dan sendirian itu sudah Olenka jalani sejak kecil. Tidak ada yang mengenalnya.
Tapi, ingin sekali aku seperti Olenka. Bagiku, hidupnya keren sekali. Aku sih belum pernah ketemu dia. Darma juga tidak bercerita sosok Olenka seperti apa. Jadi, jika aku bertemu dengannya apakah aku mengenalnya. Aku membayangkan tubuhnya kecil, berambut pirang, matanya biru, dengan wajah yang sangat cerdas.
Suatu sore, aku melihat sepasang kekasih bertengkar di pinggir jalan. Si perempuan berteriak-teriak. ”Kau lupa, ini hari ulang tahunku. Ngakunya cinta. Hari ulang tahun saja tidak ingat. Cinta seperti apa itu? Gombal. Kepalamu isinya cuma uang, uang. Tina, Umi, Qori. Otakmu kotor. Selingkuh. Tidak terpikir sedikit pun kalau kau juga perlu memperhatikan keinginanku.”
Si laki-laki menjawab, ”Kamu salah. Sudah lima tahun kita pacaran, kamu belum kenal aku. Ngakunya cinta. Kamu tidak pernah mau paham aku. Kamu juga selingkuh.”
Aku tertawa geli. Bagaimana Olenka berpikir dan menganalisis kejadian itu. Banyak pengarang genit dan absurd akan membawa cerita seolah dunia mau runtuh dengan kejadian seperti itu. Cemburu memang mengerikan. Cemburu itu membuat gelap mata dengan pisau tajam di tangan. Maka, akan ada yang membawa cerita akan terjadi pembunuhan. Darah bercecer. Kuping terpotong. Bibir tersayat. Setelah pembunuhan, tubuhnya dicacah-cacah dimasukkan ke dalam plastik. Gak lah. Hidup tidak seperti itu amat. Kesannya cerita yang asyik karena serem dan mengejutkan. Ah, tidak juga. Seolah hidup ini parah banget. Padahal, enggak juga. Biasa-biasa aja.
Olenka bukan sosok genit dan absurd. Dia tidak akan membawa pikirannya seperti itu. Olenka akan berpikir bahwa hari itu si wanita cuma berahi dan tidak mendapatkan pelepasan. Hari ini kebetulan si laki-laki agak sibuk sehingga lupa meniduri kekasihnya. Itu nanti, kalau sepasang kekasih itu sampai ke kamar mereka, mereka kelonan, dan masalah selesai. Besok kalau berahi dan belum kelonan, akan terjadi pertengkaran lagi. Eh, apa itu cara berpikir Olenka? Jangan-jangan itu masih aku. Aku merasa Olenka bukan sosok aliran berahional. Aduh. Bagaimana Olenka melihat dan menjelaskan kasus itu. Aku ingin sekali seperti Olenka.
Bagaimana caranya menjadi Olenka? Baiklah. Aku harus menyelami dari cara hidupnya dulu. Mulailah aku menarik diri dari pergaulan. Semua bentuk komunikasi aku hindari. Aku putus hubungan semua teman dari TK hingga kuliah. Teman-teman komunitas juga tidak aku gubris. Aku mulai membuat jadwal sendiri. Semua identitas lama aku buang. Aku ingin seperti Olenka. Aku mulai duduk-duduk melamun di kursi pinggir jalan Malioboro, suatu hal yang sering dilakukan Olenka. Ternyata, tidak asyik. Terlalu ramai.
Aku pindah ke kafe dekat stasiun. Sebuah kafe yang menghadap rel kereta sehingga kalau ada kereta, aku bisa melihat. Tentu aku nanti tidak harus dada ke kereta lewat. Tidak mungkin Olenka melakukan itu. Aduh, rasanya kurang asyik juga. Terlalu bising. Olenka tidak suka kebisingan. Aku pindah lagi.
Setelah berpikir sejenak dan melihat bulan yang samar-samar di balik awan tipis, aku putuskan aku menyelinap kembali menelusuri Malioboro. Tutup kepala jaket aku kenakan, dua tangan aku masukkan ke kantong, dan sedikit berjalan cepat ke arah selatan. Seingatku, kalau berjalan Olenka terkesan cepat dan buru-buru. Seperti ingin yang dikerjakan segera selesai dan berpindah ke kegiatan lain. Aku pun sok buru-buru. Padahal, gak ada rencana apa-apa. Tiba-tiba ada yang menegur.
”Ain, mau ke mana buru-buru?” Suara seseorang yang rasanya aku kenal. Aku menoleh ke arah suara. Pura-pura bingung dan pangling. Ya, aku kenal. Dia Meta, teman kuliah. Aduh. Apa yang harus aku lakukan, tetap menjadi Olenka atau kembali menjadi Ain. Kalau aku Olenka, apa yang harus aku jawab.
”Ya olloh, baru gak ketemu seminggu sudah lupa?” Nada Meta masih terdengar heran.
Aku putuskan aku menjadi Olenka. ”Maaf Mbak, mungkin Mbak salah orang.”
Terbelalak mata Meta. ”Ya olloh. Kok bisa lupa sih sama aku. Aku Meta, Ain. Meta.”
Kami saling bertatap, dan aku memang kenal dia, dia kenal aku. Tapi, sementara aku memilih tidak kenal karena aku Olenka. ”Maaf Mbak. Mbak salah orang.”
Aku meneruskan langkah, meninggalkan Meta dalam kebingungan yang tidak akan mudah dimengerti, itu jenis kebingungan yang mana. Aku meninggalkan Meta dengan tidak kalah berkecamuk. Antara menyesal kenapa aku pura-pura lupa, dan berpikir, kalau Olenka menghadapi teguran seperti itu apa yang dia jawab. Tidak mungkin Olenka pura-pura lupa dengan temannya. Dia pasti menjawab sopan dan apa adanya. Kesalahanku adalah aku pura-pura melupakan temanku, dan tidak tahu siapa saja teman Olenka. Apakah Meta juga teman Olenka apa tidak, itu yang aku tidak tahu. Aku mulai mengingat-ingat siapa saja teman Olenka yang tidak sama dengan temanku. Kalau dia teman Olenka, aku harus pura-pura kenal, dan sebaliknya. Baru urusan pertemanan saja, aku sudah kedodoran. Berat juga jadi Olenka.
Tanpa sengaja, kakiku melangkah ke mal. Ada kesengajaan sedikit sebenarnya, aku mau mendinginkan badan. Badanku mulai terasa panas dan berkeringat. Melangkah pelan, aku lihat banyak barang bagus, mahal, dan mungkin bermerek. Baju, jam tangan, tas, sepatu, kacamata, dompet, kalung, kaus yang warna-warni. Biasanya, banyak cerita yang mencoba menyertakan nama-nama barang bermerek tersebut, seperti terkesan familier dan paham. Tapi, aku tidak. Aku tidak hafal dan tidak mau juga mengingat barang-barang itu. Malah nanti dikira promosi. Rugi aku, aku tidak dapat apa-apa.
Di bagian ini, tidak sulit menjadi Olenka. Hanya lihat-lihat dengan rasa asyik, tanpa ketertarikan memiliki, apalagi membeli. Seingatku, Olenka tidak posesif dan sangat cuek dengan penampilannya. Jadi, bukan soal uang. Uangku atau uang Olenka banyak. Setahuku, Olenka selalu pakai sepatu kets yang sama. Mungkin juga selalu pakai celana dan baju kaus yang sama. Penampilannya hanya untuk dirinya sendiri, tidak dimaksudkan untuk dilihat orang lain. Gak tahu, apakah dia pakai celana dalam yang sama atau ganti-ganti. Harusnya ganti-gantilah. Tapi, ganti atau tidak ganti, tidak akan mengurangi pesona Olenka di mataku.
Bosan di mal, aku menyelinap ke kafe kopi. Seingatku, Olenka suka kopi. Apa aku ingat karena sama-sama suka kopi, rasanya gak. Kalau gitu, ini keinginan Olenka atau keinginanku. Aku mantapkan ini maunya Olenka. Di kafe, ada orang yang menegurku. Mungkin dia kenal aku, tapi aku tidak kenal. Kembali aku ragu, jangan-jangan ini teman Olenka. Dengan ramah aku jawab, ”Hei, apa kabar. Lama tidak ketemu. Kangen ngopi di sini,” jawabku berbasa-basi. Ternyata jawabanku pas. Orang tersebut terlihat senyum ramah dan meneruskan kegiatannya.
Aku duduk mojok menghadap arah dinding. Olenka biasa melakukan hal itu. Dia, maunya, tidak ada orang yang melihatnya dan Olenka juga tidak harus melihat yang lain. Setelah kopi datang, tidak membutuhkan waktu lama segera aku teguk tandas. Aku hanya kepikiran segera ingin berjalan menelusuri jalan Mangkubumi, ke Jalan Sudirman, terus ke Terban, terus ke Jalan Kaliurang, hingga pagi. Pokoknya aku ingin berjalan, terus berjalan. Olenka sangat sering melakukan itu.
Jalan ada batasnya, kemauan tidak ada batasnya. Dini hari, aku sampai di Kaliurang. Baru terasa kalau agak lelah. Aku sengaja memilih sebuah kursi di sebuah taman. Tidak banyak yang bisa aku pikirkan karena kayaknya aku langsung tertidur. Begitu bangun aku terkejut dan bertanya, aku sedang di mana. Ada perasaan takut karena aku merasa tidak mengenal tempat itu. Aku coba merekonstruksi, aku telah melakukan apa sebelumnya.
Seingatku kemarin aku ke perpustakaan, membaca cerpen Wayne. Heran juga kenapa cerpen Wayne awalnya itu ditolak para penerbit. Orang-orang sangat lambat untuk membaca cerpen bagus. Kemudian, duduk-duduk di taman kampus. Sempat juga mengamati seekor kucing yang lucu. Melihat beberapa mahasiswa diskusi serius. Di sebelah lain ada yang tertawa, ada yang berjalan-jalan naik sepeda. Rasanya itu yang kemarin aku lakukan. Terus aku jalan pulang ke apartemen, bertemu dengan Fanton Drummond. Menjelang tidur aku membaca buku. Rasanya itu yang bisa aku ingat.
Aku bingung sekali. Kenapa aku sulit membaca tulisan-tulisan. Apa itu Taman Wisata Kaliurang? Apa itu bakso, sate, bakmi jawa, soto. Itu bahasa apa? Nah, itu ada tulisan yang bisa aku mengerti, hotel, toilet, rest area, halte, museum, terminal. Ada yang mengajakku berbicara, tapi aku gak paham, orang itu pakai bahasa apa? Setelah lebih memahami keadaan, aku membeli cocacola. Langsung kuteguk habis. Aku berjalan, berlari-lari kecil memanaskan tubuh.
Ada beberapa orang bersepeda berpapasan. ”Hei Ain. Tumben pagi-pagi gini sudah di Kaliurang?” sapa salah seorang. Aku tidak paham pertanyaan mereka. Kenapa aku dipanggil Ain, dan mereka itu siapa. Untung rombongan itu segera berlalu. Kalau tidak bagaimana aku bisa berkomunikasi. Aku harus menjawab apa kalau aku tidak mengerti pembicaraan mereka. Yang harus aku selesaikan sekarang, ini aku sedang di mana. Padahal, nanti sore aku telah berjanji mau bertemu dengan Si Tengik Fanton itu. Mau apa dia ketemu aku? Aku terus berlari, melewati taman wisata. Di sebuah bangku, aku melihat seorang perempuan masih tertidur.
”Kenapa dia tertidur di situ? Apa yang terjadi? Apakah habis berantem dengan pacarnya? Atau diusir oleh keluarganya?” Ah, sudahlah, itu urusan dia. Yang pasti aku harus mengetahui aku sedang di mana dan mau ngapain. (*)
—
APRINUS SALAM, Dosen Pascasarjana FIB UGM Jogjakarta