JawaPos.com – Pengamat perhajian Indonesia yang juga Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj menilai ada yang perlu diwaspadai pada BPIH tahun ini. Keputusan dalam raker yang berlangsung di gedung DPR itu dinilai sedang berpihak kepada 203 ribu jamaah haji regular yang berangkat pada tahun ini.
Sebab, dapat menekan biaya sedemikian rupa sehingga pelunasan jemaah lebih kecil dari usulan Kemenag. Bahkan, ada keputusan politik sekitar 84 ribu jamaah haji lunas tunda tahun 2020 dibebaskan dari biaya pelunasan. Sementara jamaah lunas tunda tahun 1444 H/2022 M membayar Rp 9,4 juta, dan jamaah tahun 2023 membayar Rp 23,5 juta.
“Jika dicermati lebih seksama, keputusan di DPR sesungguhnya merupakan keputusan yang berorientasi jangka pendek semata dan bercampur muatan politis, maklum di tahun politik seperti sekarang dimana pemilu akan digelar tahun depan tentu DPR tidak ingin popularitasnya anjlok dan kehilangan pamor di masyarakat,” kata Mustolih dalam keterangan tertulis, Sabtu (18/2).
“Sehingga yang dikorbankan adalah kepentingan dari 5,2 juta jamaah haji tunggu yang masa antrinya bisa mencapai 60 tahun mendatang baru berangkat,” sambungnya.
Menurut Mustolih, nilai manfaat yang seharusnya menjadi hak jamaah tunggu diambil lebih dahulu untuk menambal biaya jamaah haji pada tahun ini. Sehingga, seolah-olah biayanya murah dengan bantuan subsidi biaya berkisar Rp 40.237.937 juta per orang.
Jika dibandingkan dengan jamaah haji tunggu yang jumlahnya 5,2 juta, mereka hanya diberikan imbal hasil rata-rata Rp 2 triliun (20 persen) yang disalurkan melalui virtual account (VA). Jika dibreakdown, nilainya Rp 350 ribu per jamaah per tahun.
“Kemenag dan BPKH tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti kemauan DPR, karena DPR punya senjata pamungkas, yakni Pasal 47 ayat 1 UU Nomor 8/2019 dimana BPIH harus mendapat persetujuan DPR,” tegasnya.
Mustolih menilai, subsidi semacam ini sejatinya tidak memiliki landasan hukum. Sebab, jika merujuk pada UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (PKH) pengelolaan dana haji oleh BPKH harus menggunakan sistem syariah, yakni menggunakan akad wakalah. Sehingga, setoran pokok maupun hasil kelolaannya merupakan hak dari jemaah itu sendiri (shohibul maal).
Hal tersebut dipertegas melalui Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34 Pengelolaan Keuangan Salinan Tahun 2oi4 tentang Haji. Hal ini dipertegas juga oleh Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI IV Tahun 2012 dan Fatwa DSN MUI Nomor 122/DSN-MUI/DSN/II/2018 tentang Pengelolaan Dana BPIH dan BPIH Khusus, Berdasarkan Prinsip Syariah.
Subsidi dan tambal sulam seperti ini, kata Mustolih, sesungguhnya mengadopsi skema Ponzi (Ponzi Sceam). Konsep ini digagas oleh Charles Ponzi, pebisnis asal Amerika Serikat, di mana jamaah haji yang lebih dahulu berangkat dibiayai dari uang jamaah yang masih menunggu antrean.
Mustolih menambahkan, keberlangsungan nilai manfaat dana haji terancam habis, setidaknya hanya mampu bertahan sampai 2026 atau 2027. Hal ini sebagaimana yang disimulasikan BPKH dan dipaparkan di depan Komisi VIII DPR RI. Sebab, skema investasi yang didapat selama ini tidak bergerak, hanya di kisaran 6 – 7,5 persen per tahun. “Tapi DPR justru tetap memilih melanggengkan dan mempertahankan skema Ponzi,” jelasnya.
DPR dan para pemangku kebijakan, kata Mustolih, seharusnya belajar pada praktik skema Ponzi yang pernah digunakan First Travel dan Abu Tour. Sistem subsidi antar jamaah itu tidak bisa bertahan lama dan membuat perusahaan itu ambruk. Akhirnya mereka tumbang dan ratusan ribu jemaahnya menjerit karena gagal berangkat. Pada akhirnya pimpinan travel tersebut dihukum masuk bui sampai puluhan tahun. “Pengelolaan dana haji tidak boleh seperti itu,” pungkasnya.
Sebelumnya, Pemerintah dan Komisi VIII DPR RI telah menyepakati besaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1444 H/2023 M sebesar Rp 90.050.637,26 per jamaah haji reguler. Dari jumlah tersebut, Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang ditanggung jamaah hanya Rp 49.812.700,26 (55,3 persen). Sedangkan sisanya Rp 40.237.937 (44,7 persen) bersumber dari penggunaan nilai manfaat.
Menag, Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, Kesepakatan ini diperoleh setelah Panitia Kerja (Panja) BPIH melakukan serangkaian diskusi panjang, membahas usulan biaya haji pemerintah. Pada 19 Januari 2023, pemerintah mengajukan usulan BPIH sebesar Rp 98.893.909,11 dengan komposisi Bipih sebesar Rp 69.193.734,00 (70 persen) dan nilai manfaat sebesar Rp 29.700.175,11 (30 persen).
“Hari ini kita telah menyepakati biaya haji reguler. Rata-rata jamaah akan membayar Rp 49,8 juta dengan penggunaan dana nilai manfaat mencapai Rp 8,090 triliun,” kata Yaqut.
“Disepakati juga adanya afirmasi khusus bagi jamaah lunas tunda tahun 2020 dan dibutuhkan tambahan nilai manfaat mencapai Rp 845 miliar. Sehingga, dana nilai manfaat yang dibutuhkan mencapai Rp 8,9 triliun,” sambungnya.