Pertemuan Kades se-Jateng tersebut digerebek oleh Bawaslu Kota Semarang di sebuah hotel Kota Semarang pada Rabu (23/10) malam.
Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani mengatakan seyogyanya para kades tidak berpihak terhadap paslon tertentu. Dia menekankan pentingnya saling menghargai dan saling menghormati.
“Iya, kita semua harus saling menjaga, saling menghargai dan menghormati, jadi ya semuanya harus menjaga sikap jangan sampai kemudian melampaui batas-batas yang dianggap tidak harusnya dilakukan,” kata Puan.
Pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada Bawaslu Kota Semarang yang menemukan adanya dugaan kecurangan dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada serentak 2024 ini.
“Iya, kalau kemudian ada bukti-bukti yang kuat bahwa itu menyalahi aturan, ya harusnya Bawaslu kemudian bisa melaksanakan tugasnya,” ujarnya.
Sebelumnya, Bawaslu Kota Semarang mendatangi pertemuan kades se-Jateng di salah satu hotel Kota Semarang pada Rabu (23/10) malam.
Pertemuan itu diduga bertujuan untuk mendukung salah satu pasangan calon dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pada Pilkada 2024.
Ketika Bawaslu tiba di lokasi, para kades tampak langsung membubarkan diri. Tim Bawaslu yang terdiri dari 11 anggota melakukan penyelidikan dan pengawasan di ruang pertemuan di lantai tiga hotel tersebut.
“Kami mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses. Namun, kami berhasil berbincang dengan salah satu kades yang hendak masuk ke ruangan. Saat kami tiba, diperkirakan sekitar 90 kades yang hadir langsung meninggalkan pertemuan,” kata salah satu anggota Bawaslu Arief saat dimintai keterangan pada Kamis (24/10).
Arief mengatakan kades yang hadir mengklaim kegiatan tersebut adalah silaturahmi serta konsolidasi organisasi Paguyuban Kepala Desa (PKD) se-Jawa Tengah dengan tema Satu Komando Bersama Sampai Akhir.
Bawaslu juga meminta penjelasan dari kades dan menemukan mereka berasal dari berbagai kabupaten, yang setiap wilayah mengirimkan dua perwakilan, yaitu ketua dan sekretaris.
Bawaslu Kota Semarang berencana untuk melaporkan kejadian ini kepada Bawaslu Provinsi Jawa Tengah untuk pemeriksaan lebih mendalam.
Arief menegaskan bahwa ini adalah insiden kedua setelah sebelumnya, pada 17 Oktober 2024, pertemuan serupa diadakan di Semarang Barat dengan peserta sekitar 200 kades dari Kabupaten Kendal.
“Berdasarkan Pasal 71 Ayat 1 UU Pilkada, semua pejabat negara, termasuk kepala desa, dilarang mengambil keputusan atau tindakan yang dapat menguntungkan atau merugikan calon tertentu,” ujar Arief.
Dia juga menjelaskan bahwa sanksi pidana bagi pelanggar ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 188 UU Pilkada.
Pejabat negara atau kepala desa yang melanggar dapat dihukum penjara antara satu hingga enam bulan atau dikenakan denda antara Rp 600.000 hingga Rp 6.000.000. Selain itu, mereka juga dapat dikenakan sanksi administratif dari lembaga yang berwenang.
Kasus ini menyoroti betapa pentingnya menjaga proses demokrasi di Indonesia dari praktik dukungan yang tidak seharusnya dilakukan oleh Kades secara terorganisir.(mcr5/jpnn)