JawaPos.com- Kebijakan penghapusan pupuk subsidi di sektor pertambakan, menjadi ancaman serius nasib para petani tambak. Termasuk di wilayah Kabupaten Gresik. Selama ini, ada ribuan keluarga menggantungkan hidup dari sektor perikanan. Maklum, Gresik termasuk pusat produksi ikan bandeng di Indonesia.
Data yang dihimpun Jawa Pos dari website Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kabupaten Gresik menghasilkan ikan bandeng sekitar 87 ribu ton per tahun. Nilainya mencapai Rp 2 triliun. Adapun luas lahan tambak mencapai 32.000 hektare. Angka itu sekitar 46 persen total luas tambak di Jawa Timur.
Kini, para petani tambak di Gresik berpeluh pilu. Pencabutan pupuk subsidi itu jelas berdampak besar. Bukan hanya sekadar pada total produksi ikan yang dihasilkan. Lebih dari itu, kesejahteraan mereka terancam. Bahkan, bukan tidak mungkin berpotensi menambah jumlah warga prasejahtera atau keluarga miskin baru. Terutama di kampung-kampung.
‘’Saat sekarang, bagi petani tambak seperti kami-kami ini, rasanya sementara tidak butuh pembangunan. Tapi, butuh makan,’’ kata Ogin Suganda, salah seorang petani tambak asal Kecamatan Dukun, Sabtu (17/2).
Menurut Ogin, penghapusan pupuk subsidi bagi petambak jelas mencekik wong cilik. Warga mau tidak mau dipaksa membeli pupuk nonsubsidi dengan harga Rp 500 ribu per sak. Harga sebesar itu jelas tidak sebanding antara modal dangan produksi ikan yang dihasilkan.
Dia pun lantas memberikan gambaran. Misalnya, warga memiliki tambak seluas 4.200 meter persegi. Luasan lahan itu paling tidak membutuhkan pupuk sebanyak 4 sak sekali musim panen. Maka, kebutuhan pupuk saja menelan biaya Rp 2 juta (Rp 500 ribu x 4 sak). Lalu, biaya membeli bibit ikan sebanyak 15 rean sekitar Rp 1,5 juta, dan kebutuhan lain-lain seperti perbaikan lahan dan sejenisnya berkisar Rp 2 juta.
Jadi, lanjut dia, total kebutuhannya sekitar Rp 5,5 juta. Hasil panennya dengan luas lahan itu kisarannya 2 kuintal. Jika per kilogram ikan terjual Rp 50 ribu, maka income yang didapat Rp 10 juta.
Nah, hasil panen dikurangi modal Rp 5,5 juta, ketemu income bersih hanya Rp 4,4 juta. ‘’Perolehan panen itu untuk hidup selama 2-3 bulan. Bayangkan, terus dapat apa uang segitu di saat kebutuhan pokok semua serba naik? Itupun kalau ikannya tidak mati,’’ paparnya.
Dia pun berharap pemerintah memperhatikan nasib wong cilik seperti para petani tambak. Terlebih di Gresik, yang memiliki pabrik pupuk terbesar. Namun, warganya kini menjerit. ‘’Kalau saya usul, lebih baik BLT (bantuan langsung tunai) itu dihapus saja. Tidak usah didaftar-daftar. Yang ingin BLT, biar daftar sendiri kalau merasa miskin. Nah, anggaran untuk keberlangsungan ketahanan pangan seperti petani dan petambak ini. Untuk biaya sekolah anak,’’ ungkapnya.
Salah satu sentra tambak di Kabupaten Gresik adalah di wilayah Ujungpangkah. Kini, kebijakan penghapusan pupuk subsidi tersebut juga memukul para petambak. ‘’Jelas berdampak. Sebab, pupuk menjadi salah satu komponen yang bisa mempercepat pertumbuhan bandeng,’’ kata Saifullah Mahdi, Kades Pangkah Wetan, Kecamatan Ujungpangkah.
Menurut Sandi, panggilan akrabnya, saat ini salah satu pilihannya adalah petambak tidak memakai pupuk dalam satu musim ini. ’’Dan ini berakibat pada lambatnya pertumbuhan ikan sehingga berakibat pada lamanya waktu panen. Panen pun ikannya kecil-kecil,’’ ujarnya kepada Jawa Pos.
Sebelumnya, pengurus Asosiasi Kepala Desa (AKD) Kabupaten Gresik ramai-ramai mendatangi PT Petrokimia Gresik. Mereka mendapat banyak jeritan dari warganya akibat kesulitan mendapat pupuk.
Pupuk subsidi tidak mudah mendapatkannya, sementara pupuk nonsubsidi harganya mencekik leher. Mereka pun mengibaratkan, nasib petani-petambak Gresik kini ibarat pepatah tikus mati di lumbung padi. Betapa tidak, di Gresik terdapat produsen pupuk besar, namun rakyatnya kesulitan pupuk.