JawaPos.com – Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) menilai skema power wheeling yang sempat menuai kontroversi dalam pembahasan di Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) memiliki potensi untuk bisa menarik investasi swasta untuk lebih aktif berpartisipasi dalam transisi energi.
“Skema power wheeling selayaknya menjadi salah satu opsi dalam upaya memastikan adanya suplai yang fleksibel dengan mekanisme Renewable Purchase Obligations (RPO),” kata Ketua Umum APLSI Arthur Simatupang dalam keterangan di Jakarta, Kamis (16/2).
RPO merupakan kewajiban distributor listrik pusat untuk mengalokasikan sebagian listriknya bersumber dari energi terbarukan. Dengan adanya RPO, investor akan lebih mudah masuk karena adanya kepastian pasokan energi bersih sehingga transisi energi dapat terakselerasi dengan optimal.
Skema power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta atau Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri. Penjualan setrum IPP dengan mempergunakan jaringan distribusi dan transmisi milik PLN melalui open source dengan membayar biaya (fee) yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM.
Arthur juga menilai penggunaan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN oleh konsumen khususnya industri dan produsen listrik diyakini akan meningkatkan penetrasi EBT di dalam sistem kelistrikan umum.
Hal ini didorong oleh semakin tingginya permintaan konsumen industri akan listrik bersumber dari EBT, yang banyak disuarakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional seperti Nike, Adidas, Coca-cola, H&M, Nestle dan lain-lain.
“Sebagai konsumen besar, tentunya PLN akan merespons dengan baik permintaan dari industri tersebut. Apalagi hal itu terkait dengan kelangsungan industri di tanah air. Pertanyaan berikutnya adalah sinergi apa yang dapat membantu PLN memenuhi ‘demand‘ listrik EBT tersebut?” katanya.
Sebagai wadah pengusaha atau perusahaan pengembang listrik nasional di Indonesia, APLSI meyakinkan pihaknya memiliki kemampuan dan rekam jejak yang baik untuk menjadi bagian penting pembangunan suplai EBT. Terlebih permintaan untuk listrik dari EBT diproyeksi akan meningkat terus drastis.
PLN dan pemerintah sebagai regulator dapat mendukung transisi tersebut dengan memastikan aspek suplai atau penawaran senantiasa seirama. Ia juga menilai perlu adanya peninjauan kembali terhadap RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Listrik) dalam menjawab dinamika baru demand industri atas listrik EBT.
“Dinamika demand listrik EBT dari industri memerlukan fleksibilitas dalam pengembangan sisi supply yang seringkali menjadi tantangan bagi dunia industri,” katanya.
Arthur juga menilai PLN dan IPP perlu melakukan diskusi dan koordinasi dalam upaya bersama pembangunan dan pengadaan EBT. Ini dilakukan guna memperoleh opsi terbaik untuk memberikan pelayanan terhadap permintaan pelanggan listrik akan target dekarbonisasi dari sektor industri.
Pemerintah sendiri telah memastikan skema power wheeling tidak masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto juga menyatakan bahwa skema bisnis power wheeling dikeluarkan dari draf RUU EBET.