PENOLAKAN sebagian dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam pemberian jabatan profesor kehormatan kepada seseorang di luar dunia akademik dapat dipahami. Barangkali, penolakan itu didasari berbagai pengalaman di perguruan tinggi lain yang gemar ”obral” pemberian gelar dan jabatan, baik itu doktor honoris causa maupun profesor kehormatan.
Pengalaman itu adalah dugaan adanya kepentingan pribadi atau sekelompok kecil pejabat kampus yang berharap, dengan memberikan jabatan atau gelar kepada seseorang yang berpengaruh, mereka (bukan kampusnya) akan mendapat keuntungan. Minimal hubungan baik dalam hal di luar akademik ataupun perlindungan tertentu.
Dengan kata lain, penentuan siapa yang akan diberi gelar dan jabatan itu tanpa melibatkan staf akademik yang lainnya dengan tata cara dan prosedur yang sangat ketat. Seperti halnya usul kenaikan jabatan profesor oleh para dosen yang sejak ”bayi” sudah bergelar doktor dan melaksanakan tridarma perguruan tinggi. Yakni pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Sebagai gambaran, seseorang yang sejak awal sudah berniat menjadi dosen, untuk mencapai jabatan profesor, umumnya dilalui dengan proses yang sangat panjang. Bahkan berliku, berdarah-darah, karena harus mengumpulkan 850 kum dalam kegiatan pelaksanaan tridarma secara rutin, bergelar doktor, dan menulis di jurnal internasional bereputasi. Banyak di antara mereka yang stres, sampai jatuh sakit, bahkan ada yang nekat mencari jalan kurang terpuji.
Profesor Kehormatan
Kembali pada masalah profesor kehormatan. Menurut Permendikbudristek Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan, Pasal 1 ayat 1 dan 2, disebutkan, jabatan akademik adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seseorang dalam suatu satuan pendidikan tinggi yang dalam pelaksanaannya didasarkan pada keahlian tertentu serta bersifat mandiri. Profesor kehormatan adalah jenjang jabatan akademik profesor pada perguruan tinggi yang diberikan sebagai penghargaan kepada setiap orang dari kalangan nonakademik yang memiliki kompetensi luar biasa.
Pada pasal 3 disebutkan: setiap orang yang diangkat menjadi profesor kehormatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 harus memenuhi sejumlah kriteria. Di antaranya memiliki kualifikasi akademik paling rendah doktor, doktor terapan atau kompetensi yang setara dengan jenjang 9 (sembilan) pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia; memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit luar biasa; memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional; dan berusia paling tinggi 67 (enam puluh tujuh) tahun.
Jadi, terlepas pro-kontra, ada aturan untuk memberikan jabatan profesor kehormatan, hanya masalahnya soal transparansi dan objektivitas yang ketat. Persoalan lain di antaranya sebagai berikut.
Pertama, mereka umumnya menulis jabatan di depan namanya Prof Dr, yang berarti seakan sepertinya mereka profesor yang diraih secara reguler. Mestinya ditulis sesuai peraturan, yakni Prof HC (Universitas X) … nama yang bersangkutan. Kedua, umumnya mereka yang diberi jabatan profesor kehormatan tidak lagi aktif secara kontinu untuk melaksanakan tridarma perguruan tinggi (mengajar, meneliti, dan mengabdi) ke perguruan tinggi yang memberinya. Apalagi, mereka berkontribusi ke pengembangan iptek.
Kapten Peradaban
Profesor semestinya adalah kapten peradaban. Mereka seharusnya menjadi ”lokomotif” yang menuntun sivitas akademika menuju ke arah perguruan tinggi yang mampu membudayakan nilai hidup, pandangan hidup, keterampilan hidup, dan sebagainya melalui serangkaian kerja besar ilmiah seperti kontemplasi pemikiran untuk melahirkan buku dan teori baru atau penelitian ilmiah lainnya.
Mestinya ia sudah ”sublim” ilmu pengetahuannya, kearifannya, moralitasnya, dan memiliki kewibawaan dan kehormatan yang luar biasa. Karena itu, kalau seorang profesor meninggal, akan disemayamkan dahulu di kampus setempat. Itu berarti sebuah kehormatan yang luar biasa.
Karena sudah sublim mencapai puncak ”ekstase” dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, ia akan suntuk menghasilkan karya-karya ilmiah untuk memecahkan masalah yang membelit masyarakat di sekitarnya. Syukur buat bangsa dan negara serta umat manusia pada umumnya.
Jelas bahwa jabatan profesor adalah titik awal untuk berkarya, dan bukan ”tujuan”. Sebab, jika jabatan profesor hanya sebagai ”tujuan”, ia diibaratkan akan seperti sebatang ”pohon pisang” saja, yakni ”sekali berbuah setelah itu mati”. Mestinya ia laksana sumur yang semakin banyak ditimba, semakin agung airnya. Karena itu, di luar negeri ada rasa malu jika seorang profesor sudah tidak berkarya lagi di almamaternya. Sebutan ”publish or perish” menggambarkan kesetiaan seorang profesor di luar negeri atas komitmen ilmiahnya sekaligus komitmen terhadap kejujuran nuraninya.
Kalaupun seorang profesor menjabat rektor, fokus yang dilakukan adalah memimpin universitas dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lalu tugas-tugas administratif? Umumnya para rektor menyerahkannya kepada ”vice president for university development”.
Berbeda dengan di negeri ini jika seorang profesor menjabat struktural di perguruan tinggi, lembaga/instansi, hampir dapat ditebak, 70 persen waktunya akan habis untuk urusan administratif. Seperti menghadiri peresmian, wisuda, tanda tangan, mengurusi proyek universitas, mondar-mandir ke luar daerah atau luar negeri untuk membuat MoU.
Bagi mantan Rektor UGM (alm) Prof Teuku Jacob, jabatan profesor bukan ”batu loncatan” untuk menjadi pejabat yang berarti membayangkan kekayaan. Di dunia militer, sehebat apa pun ilmu kemiliteran seorang sipil, tidak akan diberi pangkat dan atau jabatan ”jenderal HC”. Padahal, profesor setara dengan jenderal bintang tiga atau bintang empat. Jadi, di dunia militer malah konsisten, objektif, tegas, dan lebih ”ilmiah” daripada di dunia sipil akademik. (*)
*) SARATRI WILONOYUDHO, Profesor Ilmu Kependudukan dan Lingkungan Perkotaan