JawaPos.com–Tubuh Salim (bukan nama sebenarnya), 12, terhimpit di ujung kursi kayu panjang. Tubuhnya kecil dan mungil. Matanya nampak kosong, namun berbinar ketika tim JawaPos.com datang pada Rabu (6/4) siang. Dia lalu mencolek Awan, 14, yang duduk di sampingnya.
”Iku sopo (itu siapa)?” tanya Salim.
Awan hanya mengedikkan bahu. Salim tampak tak puas. Dia mengamati dengan tajam, dari atas ke bawah lekat-lekat.
Awan lalu menyikut Salim. Membuat Salim berhenti menatap. ”Ojok didelok-delok! Engkok mbok apak-apakno! (jangan lihat-lihat, nanti kamu apa-apakan)!” ucap Awan.
Salim dan Awan merupakan dua dari 7 anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Mereka tinggal di shelter milik Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Kota Surabaya.
Mereka adalah anak yang berkonflik dengan hukum dan sedang menunggu putusan sidang terkait kejahatan yang dilakukan. Salim merupakan terduga pelaku pelecehan seksual pada anak-anak di bawah umur.
Salim hampir 3 bulan tinggal di shelter di Surabaya Selatan itu. Selama tinggal di sana, Salim merupakan ABH terkecil. Siswa kelas 6 SD itu tak sendiri. Dia tinggal di shelter bersama Awan dan anak-anak lain.
Bila Salim terjerat kasus pelecehan seksual, Awan terjerat kasus pencurian motor. Ada juga Kevin, 18; Reza, 17; Adi, 16; Bagas, 15; dan Joko, 16; yang terjerat kasus sama. Sedangkan Bambang, 15, harus menempuh jalur hukum karena terlibat kasus kekerasan.
JawaPos.com duduk berhadapan dengan 7 anak usia sekolah itu. Rambut mereka dibotak. Mereka duduk berhimpitan di kursi panjang di ruang tamu. Tak jauh dari kami duduk, tampak beberapa ruangan berjeruji besi.
”Aku nek turu yo nang kono (aku kalau tidur di situ),” kata Awan.
Bagas menimpali, Awan selalu tidur malam. Sehingga dia tak bisa bersih-bersih rumah.
”Wes onok piket, tapi yo gak dilakoni. Eh gak popo yo aku ngomong boso Jowo. Kan wong Suroboyo (sudah ada piket tapi ya nggak dilakukan. Eh tidak apa-apa ya aku bicara bahasa Jawa. Kan orang Surabaya),” ucap Bagas.
Saat ditanya bagaimana puasa Ramadan? Reza yang pertama kali angkat bicara. ”Aman. Tapi ya lapar, Kak,” ujar Reza sambil tertawa.
Reza masih duduk di bangku SMP negeri di Kota Surabaya. Dia malu-malu ketika saya bertanya menu sahur tadi malam. Dia menunduk sambil tersenyum malu lalu menjawab pelan.
”Aku lupa, Kak,” kata Reza.
Reza merupakan ABH yang baru tinggal selama seminggu di shelter. Dia masih menyesuaikan diri.
”Aku nggak kerasan (nggak betah). Tapi yo akeh konco (banyak teman),” ujar Reza.
Saat ditanya siapa anggota shelter yang paling tua dan paling bijak. Semua telunjuk langsung mengarah ke Kevin yang duduk di tengah kursi.
Kevin mengenakan kaos hitam longgar langsung tertawa kecil. ”Kok isok aku loh (kok bisa aku sih)?” tanya Kevin pada semua anak.
”Sudah berapa lama di sini?” tanya JawaPos.com.
”Setahun, Kak,” jawab Kevin.
”Pengen pulang nggak?” tanya saya.
”Iya, kak. Kangen anak,” jawab Kevin lagi.
Kevin baru berusia 18 tahun. Seharusnya dia masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Namun dia putus sekolah saat kelas 2 SMP.
”Anakku 2 tahun. Cewek. Cantik. Aku kangen,” kata Kevin.
Anaknya saat ini berada di rumah bersama istri Kevin.
”Aku ingin pulang,” ujar Kevin.
Bila kasus curanmor yang dijalaninya selesai, Kevin mengaku ingin segera pulang. Dia juga masih menyimpan mimpi untuk bekerja.
”Aku pengen nerusin (meneruskan) usaha orang tua, jual gorengan,” ujar Kevin.
”Mosok?” tanya Awan sambil tertawa. ”Aku yo sisan wes (aku juga deh),” tambah dia.
”Iki adekku, Mbak (ini adikku),” kata Kevin sambil menunjuk Awan.
Sementara itu, Reza mengaku ingin menjadi tentara atau polisi. Namun keinginannya itu terkendala tato di tubuhnya.
”Kalau mau jadi polisi kan nggak boleh punya tato. Aku lho punya tato,” ujar Reza.
”Isok dihapus (bisa dihapus). Aku yo apene ngapus (aku juga mau hapus),” potong Adi yang memiliki tato tepat di dahi, leher, dan lengannya.
Berbeda dengan mereka, Joko ingin menjadi pengusaha bengkel. Sedangkan Bagas belum menentukan cita-cita.
”Aku mek pengen Ndang metu ambek Ndang mari (aku cuma ingin cepat keluar dan cepat selesai),” kata Bagas.
Salim tampak melamun. Dia baru sadar ketika Awan lagi-lagi menyikut lengannya. ”Aku pengen sekolah,” kata Awan sambil tersenyum.
Kunjungan JawaPos.com di shelter harus berakhir ketika adzan Ashar terdengar. Mereka harus melanjutkan kegiatan membersihkan kamar.
Kepala DP3AK Kota Surabaya Tomi Ardiyanto mengatakan, shelter itu dibuat untuk menampung para ABG selama proses hukum berlangsung.
”Usai diamankan, ada jangka waktu dari masa penangkapan sampai putusan. Saat itu, mereka belum bisa dibawa ke lapas anak. Tapi juga nggak bisa di lapas dewasa,” kata Tomi.
Dia khawatir, bila berada di lapas dewasa, mereka akan bertemu dengan narapidana lain yang lebih berpengalaman dalam melakukan kejahatan. Dengan tinggal di shelter, keamanan dan psikologis mereka juga lebih terlindungi.
”Pemkot Surabaya membuat shelter untuk menampung ABH yang dititipkan Polsek atau Polrestabes Surabaya dan Polres Pelabuhan Tanjung Perak. Sebagai rumah sementara bagi anak-anak yang terjerat hukum,” papar Tomi.
Selama tinggal di Shelter sendiri, mereka mengikuti berbagai kegiatan. Seperti pendidikan dan pelatihan. ”Tujuannya, kalau lepas dari sini atau kasus selesai, mereka punya keterampilan. Jadi nggak masuk sini lagi, atau terjerat kasus lagi. Awan contohnya,” ungkap Tomi.
Awan disebut telah dua kali tinggal di shelter. Kasus pertama, Awan terjerat kasus pencurian ponsel. ”Yang kedua, curi motor. Dulu nggak bisa baca. Terus diajari sama petugas di sini sampai bisa. Terus keluar dan pas masuk sini lagi, nggak bisa baca tulis lagi,” ucap Tomi.
Disinggung soal kegiatan lain, Tomi menyebut masih merencanakan dan merancang kegiatan baru. Sebab, pihaknya harus memikirkan keamanan gedung shelter yang terbatas.
”Kami takut kalau ada yang kabur. Mereka akan tinggal di sini sampai kasus selesai. Kalau kasus selesai, kami kembalikan ke polisi untuk diproses di lapas anak atau dibebaskan,” ujar Tomi.