PERTAMINA Grand Prix of Indonesia atau MotoGP 2022 di Pertamina Mandalika International Street Circuit baru saja selesai. Kompetisi olahraga terbesar di Indonesia yang diselenggarakan pasca pandemi ini menyisakan kenangan bagi pembalap, kru, penonton, panitia, hingga masyarakat sekitar. Bagi pemerintah Indonesia, perhelatan balap motor ini menjadi pertaruhan reputasi, baik di dalam maupun luar negeri.
Makna “reputasi” sebetulnya lebih dari sekedar “persepsi publik atau masyarakat” tentang organisasi. Dalam konteks kegiatan ini, organisasi merujuk pada “negara Indonesia”, “Mandalika” dan “Pertamina”. Reputasi lebih bersifat umum, secara keseluruhan, dan impresi jangka panjang yang dimiliki orang-orang tentang organisasi (Smith, 2017).
Kata “reputasi” memang lekat dengan studi public relations (PR) dan strategi komunikasi. Reputasi merupakan penilaian publik terhadap seseorang atau sesuatu. Namun karena bersifat pasif, reputasi yang dihasilkan bisa saja baik (good) maupun buruk (poor). Maka, banyak organisasi melakukan “manajemen reputasi (reputation management)” (Oliver, 2010). Kegiatan ini awalnya cenderung dilakukan oleh korporasi swasta, walaupun saat ini semakin banyak instansi pemerintah dan organisasi non-pemerintah, yang menyadari pentingnya membangun dan mempertahankan reputasi.
Banyak cerita di balik pembangunan sirkuit di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Mandalika, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sejak awal tahun 2014, Mandalika diusulkan dan ditetapkan menjadi salah satu KEK Pariwisata. Kawasan ini sudah diprediksi memiliki potensi pariwisata yang besar, karena lokasi yang dekat dengan bandara, serta memiliki keindahan alam berupa bukit, pantai, dan laut di sekitarnya. Pemerintah pusat dan daerah saat itu melakukan perencanaan, mematangkan cetak biru, melakukan studi kelayakan ekonomi, menggalang investor, dan perlahan membangun infrastruktur jalan menuju bandara dan kawasan.
Pada tahun 2017, Presiden Joko Widodo meresmikan KEK Mandalika dengan pengelolaan di bawah PT Pengembangan Pariwisata Indonesia atau PT Indonesia Tourism Development Corporation. Mandalika masuk jajaran lima destinasi pariwisata super prioritas. Pemerintah menjanjikan sirkuit balap kelas dunia, ditambah dengan hotel dan resor berstandar internasional. Sayangnya, pada awal tahun 2020, proyek terhenti sementara akibat pandemi Covid-19. Ditambah isu pembebasan lahan dan hak asasi manusia yang masih menjadi pemberitaan empuk, khususnya media-media luar negeri.
Terlepas dari berbagai persoalan di belakangnya, sirkuit ini berhasil diresmikan pada November 2021, satu minggu sebelum ajang balap motor Asia Talent Cup dan World Superbike 2021, yang juga menyedot antusiasme penonton Indonesia. Lalu dilanjutkan dengan latihan pramusim pada 11-13 Februari 2022 oleh para pembalap MotoGP. Dalam salah satu unggahannya di media sosial, akun @motogp bahkan menyebut Sirkuit Internasional Mandalika yang terletak di Pulau Lombok, Indonesia, sebagai sirkuit terindah di dunia.
Lebih kurang satu bulan sebelum balapan utama dimulai, persoalan datang dari aspal sirkuit. Pemerintah fokus melakukan perbaikan dengan mendatangkan para ahli, menggunakan mesin dan teknologi canggih agar gelaran MotoGP dapat tetap terlaksana pada 18-20 Maret 2022. Salah satu artikel di media luar negeri, bahkan menyebut betapa seriusnya perhatian pemerintah Indonesia pada ajang balapan ini dari mulai presiden, polisi pengawal, hingga petugas pembersih lintasan. Bahkan pembangunan runways di bandar udara Jakarta, dihentikan sementara dan peralatan dialihkan ke Pulau Lombok untuk pengaspalan ulang sirkuit Mandalika. Tujuannya, melampiaskan rindu para penggemar balap motor di tanah air, mengingat balapan terakhir diadakan 25 tahun lalu atau tahun 1997 di Sirkuit Sentul, Bogor.
Penulis sendiri berkesempatan menonton balap MotoGP di Pertamina Mandalika International Street Circuit. Tidak dipungkiri, keindahan alam, keramahan penduduk setempat, serta antusiasme penonton Indonesia memang menjadi daya tarik tersendiri bagi pembalap dan kru. Ini dengan mudah bisa kita lihat dari unggahan demi unggahan di media sosial, pernyataan yang dilontarkan saat konferensi pers, dan wawancara dengan media massa dalam dan luar negeri. Masifnya peliputan (media coverage), terutama oleh media olahraga sebelum dan setelah balapan, membuat brand “Indonesia” “Pertamina” dan “Mandalika” dipastikan sudah mulai muncul di benak pecinta otomotif dunia. Reputasi positif ini tentu saja perlu dikelola.
Namun, perlu diingat bahwa reputasi positif tidak hanya datang dari berhasilnya pembangunan infrastruktur berwujud (hard), melainkan juga infrastruktur tidak berwujud (soft), sebagaimana digarisbawahi oleh Portugal-Perez dan Wilson dalam makalah penelitian kebijakan yang diterbitkan oleh World Bank pada 2010.
Upaya pemerintah mengebut pembangunan sirkuit, sarana dan prasarana penunjang menunjukkan fokus pada hard infrastructure. Dimensi ini meliputi pembangunan infrastruktur fisik (jalan dan pelabuhan) dan teknologi informasi dan komunikasi. Bisa dikatakan, dimensi ini sudah cukup baik walau belum sepenuhnya sempurna. Masih ada persoalan fisik lainnya seperti kebersihan dan jalan tanah yang tergenang air dikala hujan.
Sejumlah restoran belum menerapkan kebersihan yang layak, MCK di lokasi acara dan tempat-tempat pariwisata yang belum berstandar internasional, hingga sampah plastik berserakan di bibir pantai. Seorang jurnalis MotoGP dari media luar negeri mengkritisi, “mengingat antusiasme yang begitu besar, fans Indonesia layak mendapatkan event yang lebih baik daripada saat ini”. Dalam artikelnya, ia menyoroti masalah trek balapan, venue dan pembangunan jalan ke area sirkuit yang belum usai, hingga mencekiknya tarif hotel yang diberikan oleh agen perjalanan dibanding tarif pada hari biasa.
Hal lain yang tak kalah penting, yakni pembangunan infrastruktur yang tidak berwujud atau soft infrastructure, meliputi transparansi, efisiensi transportasi, lingkungan bisnis, manajemen, reformasi institusi, budaya dan standar sosial populasi, sistem pendidikan, sistem keuangan, dan penegakan hukum.
Selain pengaturan transportasi atau shuttle bus yang belum terorganisir, salah satu aspek yang disoroti yaitu sumber daya manusia. Beberapa kali pembalap dan kru mengunggah di media sosial mereka, foto anak-anak penjual gelang yang terus mengikuti dan memaksa mereka membeli. Bahkan pedagang terus membuntuti hingga di pinggir pantai, tempat di mana seharusnya pengunjung beristirahat dan menikmati privasi.
Seorang YouTuber di Kuta Mandalika mengatakan, betapa terganggunya turis domestik dan luar negeri dikelilingi dan diikuti penjual gelang bahkan sejak keluar dari mobil atau turun dari motor. Pedagang yang sebagian besar anak-anak usia sekolah, pada jam-jam di mana seharusnya mereka bersekolah, justru berjualan untuk mencari nafkah. Bisa jadi, bukan reputasi positif yang didapatkan. Kondisi ini menunjukkan potret kemiskinan di tanah air, eksploitasi anak usia dini, hingga ketimpangan status sosial ekonomi masyarakat di Indonesia.
Terlepas dari siapa yang bertanggungjawab, perhelatan ini bukan hanya milik pemerintah pusat, presiden, menteri, direksi BUMN, gubernur, dan anggota dewan. Semua pihak, termasuk warga, perlu diajak bersama-sama memajukan daerahnya mengingat kegiatan internasional ini bersifat jangka panjang dan berkelanjutan.
Apa yang dilakukan oleh Anne, pemilik resor di Pantai Ekas, Lombok Timur, di mana penulis menginap, perlu ditiru. Warga Negara Australia ini mengatakan bahwa dirinya mulai menghidupkan lagi usahanya setelah dua tahun terhenti akibat pandemi. Beberapa minggu sebelum perhelatan MotoGP, ia mulai mengangkat beberapa pemuda setempat untuk bekerja di resor miliknya, dan melatih mereka bekerja. Pasalnya, seluruh kamar terisi penuh sejak dibukanya penjualan tiket. “Saya harus mengajarkan mereka perlahan-lahan. Di sekitar tempat tinggal saya ini masih ada pemuda yang buta aksara, tidak bisa membaca sama sekali,” katanya.
Kolaborasi perlu dilakukan dengan sektor swasta melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Pemerintah daerah setempat melalui dinas pariwisata, bisa juga menggandeng akademisi perguruan tinggi di Provinsi NTB melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat untuk memberikan edukasi pada pedagang, bagaimana menjual barang dengan sopan dan santun. Perlu pula didirikan sentra UMKM terutama di Kawasan Kuta Mandalika untuk mengakomodir para pedagang agar tidak berjualan secara liar. Satuan Polisi Pamong Praja juga perlu turun menertibkan pedagang dengan lebih humanis. Pemerintah juga bisa bersinergi dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat, dan masih banyak pekerjaan rumah lainnya yang bisa diselesaikan dengan gotong royong.
Selain itu, tidak perlu gengsi untuk belajar dari provinsi lain yang sudah dianggap lebih mampu mengelola acara bertaraf dunia. Jika dikelola dengan benar, impian menjadikan Kuta Mandalika sebagai lokasi Sport Tourism dengan reputasi baik, bukan lagi mimpi. Warren Buffett, pebisnis sukses dan filantropis, mengatakan, “It takes 20 years to build a reputation and five minutes to ruin it. If you think about that you’ll do things differently”.
Butuh waktu bertahun-tahun bagi pemerintah membangun hard infrastructure KEK Mandalika. Namun, keindahan sirkuit dan gemerlapnya infrastruktur perlahan akan pudar jika tidak dibarengi dengan pembangunan soft infrastructure. Kenyamanan turis, baik itu domestik dan mancanegara perlu menjadi perhatian. Sepanjang pengamatan penulis, sebagian besar pengunjung merupakan penonton lokal dari berbagai provinsi di Indonesia. Jangan sampai turis lokal tidak menjadi raja di negeri sendiri, dan memilih beralih menonton di sirkuit milik negeri tetangga.
*)Roswita Oktavianti, Pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Tarumanagara, Jakarta