JawaPos.com–Setelah dicabutnya harga eceran tertinggi (HET) oleh pemerintah pada Rabu (16/3), minyak goreng kini membanjiri pasar di Kalimantan Selatan (Kalsel). Saat ini minyak goreng mudah ditemukan terutama di toko ritel modern namun dengan harga tinggi.
Berdasar pantauan di beberapa ritel modern dan swalayan di Kota Banjarbaru, Kalsel, minyak goreng kemasan premium berbagai merek isi 2 liter dibandrol harganya antara Rp 49.000 sampai Rp 52.000. Itu jauh di atas HET yang sebelumnya berlaku Rp 28.000/dua liter.
”Tadinya senang melihat banyak minyak goreng dipajang, ternyata harganya mahal, saya tidak jadi beli,” ujar Rohimah, 55, warga yang dijumpai setelah keluar dari sebuah ritel modern di Banjarbaru seperti diansir dari Antara.
Ekonom dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Hidayatullah Muttaqin mengatakan, kebijakan pemerintah menetapkan HET minyak goreng sejak awal Februari memang tidak tepat. Begitu pula kebijakan pencabutan HET untuk minyak goreng kemasan kecuali curah, juga tidak efektif. Hal itu karena penetapan dan pencabutan HET tersebut tanpa disertai kebijakan yang menyentuh akar masalah lonjakan dan kenaikan harga kebutuhan pokok itu.
”Persoalan mendasar minyak goreng ini adalah tata niaga yang buruk dan struktur pasar yang rusak, yaitu kartel dan penimbunan oleh para mafia,” terang Hidayatullah Muttaqin.
Muttaqin merujuk data SP2KP Kementerian Perdagangan, rata-rata harga minyak goreng di tingkat nasional dari Januari 2021 ke Januari 2022 meningkat sebesar 46 persen untuk minyak goreng curah, 41 persen kemasan sederhana, dan 36 persen kemasan premium.
”Rata-rata harga pada Februari setelah ditetapkan HET mengalami penurunan, tetapi kemudian diikuti kelangkaan sehingga justru memperparah keadaan,” ujar Hidayatullah Muttaqin.
Setelah pencabutan HET, rata-rata harga per 18 Maret untuk minyak goreng curah Rp 17.251, kemasan sederhana Rp 20.116, dan kemasan premium Rp 23.439 per liter.
Menurut Muttaqin, penetapan HET pada dasarnya mendistorsi pasar. Sebab, para pedagang yang sebelumnya telah melakukan pembelian dengan harga tinggi dipaksa melepasnya ke masyarakat dengan harga HET.
”Menteri Perdagangan dalam rapat dengan DPR beberapa waktu lalu juga mengakui adanya mafia dan pemerintah tidak berdaya menghadapinya. Pernyataan ini menggambarkan kurangnya usaha pemerintah dalam menangani persoalan minyak goreng,” tutur Hidayatullah Muttaqin.
Hal itu dibuktikan setelah dicabutnya HET minyak goreng kemasan, dengan sangat cepat komoditas itu tersedia di rak-rak pasar modern. Hidayatullah Muttaqin menyatakan, hal itu menunjukkan kelangkaan minyak goreng saat pemberlakuan HET terjadi akibat adanya penimbunan dengan cara menahannya di gudang-gudang, sehingga distribusinya tidak sampai ke tingkat eceran dan masyarakat.
”Pemerintah jangan sampai kalah dengan kartel dan mafia. Sebab pemerintah pada dasarnya punya power, ada undang-undang dan peraturan di bawahnya, punya sumber daya, intelijen, dan aparat untuk memberantas persoalan ini,” ucap Hidayatullah Muttaqin.
Muttaqin menyebut kondisi itu hanya soal keinginan politik dan keseriusan untuk memberantas mafia dan pelaku penimbunan. Bukan soal panic buying, karena antrean masyarakat membeli minyak goreng tersebut adalah karena kebutuhan dan terjadi kelangkaan.