Kediri penuh misteri. Para pejabat hingga presiden dikabarkan enggan datang. Sebab, ada mitos jika melewati Jembatan Lama Kediri yang melintang di atas Sungai Brantas, mereka bisa lengser atau turun takhta. Sebagian orang masih memegang kuat kepercayaan tersebut.
—
SETIAP orang yang datang ke Kediri harus kembali ke jati diri. Para pejabat yang datang harus meletakkan jabatannya. Orang bilang, datang ke sana berarti mengembalikan mahkota. Misalnya, yang dilakukan Eyang Prabu Jayabaya. Dia memilih mukso. Meninggalkan keduniawian, termasuk jasadnya di Kediri.
Mitos pemimpin dilarang datang ke Kediri sempat ramai diperbincangkan pada 2020. Saat itu Sekretaris Kabinet Indonesia Pramono Anung berkunjung ke Ponpes Lirboyo, Kediri. ’’Pak Kiai terus terang saya termasuk yang menyarankan Bapak Presiden (Jokowi) tidak ke Kediri. Saya masih ingat, mau percaya atau tidak, Gus Dur kundur (kembali) dari Lirboyo, gonjang-ganjing di Jakarta,’’ ujarnya. Namun, setelah itu dia mengklarifikasi bahwa presiden tidak datang karena tidak diundang.
Jawa Pos mencoba untuk menggali asal muasal larangan tersebut. ’’Itu dari cerita rakyat atau folklor,’’ kata budayawan Kota Kediri Imam Mubarok ketika ditemui pertengahan bulan lalu. Pria yang kerap disapa Gus Barok itu menuturkan, kisah yang beredar tersebut berawal pada masa Kerajaan Kalingga yang dipimpin Raja Kartikea Singha. Yakni, pada abad ke-6 Masehi.
Saat itu ada dua Kerajaan Kalingga. Sisi selatan dan utara. Selatan berada di Kediri dan utara berada di Jepara yang dipimpin Ratu Shima, istri Kartikea Singha. Saat itu Kartikea Singha membuat semacam undang-undang. Namanya Kalingga Dharma Sastra yang berisi 119 pasal. Salah satunya, pemimpin yang tidak memiliki hati bersih dilarang masuk ke Kediri. Terutama melewati Sungai Brantas.
Wakil ketua Lesbumi PWNU Jatim itu mengatakan, percaya atau tidak, hal tersebut sudah menjadi mitos. Termasuk raja-raja yang saat itu masuk ke Kediri. Terlebih yang menyeberang Sungai Brantas. Banyak yang takhtanya hilang. Menurut dia, beberapa pejabat atau presiden memang pernah ke Kediri. Misalnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tapi, saat itu dia tidak menyeberangi Sungai Brantas. Atau lewat Jembatan Lama yang menghubungkan sisi barat dan timur Kota Kediri.
Jembatan Brug Over den Brantas te Kediri atau Jembatan Lama Kediri itu memang ditakuti. Terlebih mereka yang memiliki jabatan. Menurut Gus Barok, lengsernya beberapa presiden yang ke Kediri tidak bisa dihubungkan langsung dengan mitos itu. Bukan juga mereka tidak baik. Hanya, kondisi politik yang memaksanya.
Sebenarnya, kata Gus Barok, ada cara untuk menetralisasi kekhawatiran tersebut. Yakni, pejabat yang datang langsung berziarah ke makam Syekh Al Wasil Syamsudin alias Mbah Wasil Setono Gedong di Kota Kediri. Beliau adalah tokoh penyebar agama Islam di Kediri. Konon juga guru spiritual Prabu Eyang Jayabaya. ’’Berdoa dan berziarah di sana saat datang ke Kediri, insya Allah jauh dengan mitos itu,’’ terang Gus Barok.
Jembatan Brug Over den Brantas te Kediri atau Jembatan Lama Kediri kini sudah tidak difungsikan lagi. Pengendara dialihkan ke Jembatan Brawijaya. Jaraknya hanya 50 meter dari Jembatan Lama. Sama-sama ditakuti pejabat dan presiden untuk melintas di sana.
Jembatan buatan Belanda itu dibangun mulai 1855, tapi diresmikan pada 18 Maret 1869. Bulan ini usianya sudah 153 tahun. Proses pembangunannya butuh waktu lama. Faktornya banyak. Salah satunya adalah adanya gangguan buaya putih.
’’Di sana (sekitar Jembatan Lama, Red) ada kerajaan buaya putih,’’ kata praktisi spiritual Bambang Hadi Purnomo.
Sungai Brantas memang wingit. Sosok perempuan cantik dengan mahkota juga sering tampak. ’’Dia adalah ratu buaya putih. Sosok itu utusan penguasa Brantas. Jadi, dia diberi kekuasaan di sana,’’ kata Bambang Kamis (10/3) siang.
Menurut dia, sekitar Jembatan Lama itu dulu sering digunakan warga untuk labuhan. Yakni, semacam upacara sakral. Sebab, Brantas adalah sungai yang memiliki peran penting. Selain sosok ratu buaya, di sana banyak makhluk gaib. Termasuk seorang kakek berbaju putih. Dia juga sering menampakkan diri.