JawaPos.com – Log Zhelebour. Nama itu identik dengan musik rock dan Surabaya. Selama tiga dekade dari 1980-an, lelaki kelahiran 16 Maret 1959 itu adalah promotor bertangan dingin. Band lokal yang dia sentuh pasti menjadi besar. Sebut saja SAS, Boomerang, atau Jamrud.
Musik, bagi Log, adalah rock. Karena itu, dulu dia rela menggunakan sumber daya apa pun untuk membentuk ekosistem rock di Indonesia. Salah satu caranya adalah menggandengkan band lokal dengan band papan atas mancanegara. Jika tidak sebagai band pendamping, ya minimal menjadi band pembuka. Log pula yang mengusung band internasional itu ke Indonesia.
“Dulu, saat mendatangkan White Lion, band pendampingnya Jamrud,” kata Log kepada Jawa Pos kemarin (5/3).
Zaman berubah seiring bergulirnya waktu. Model promosi yang dulu diterapkan Log mungkin sekarang kurang efektif menggaet pasar. Pandemi Covid-19 juga membuat promosi on the spot atau lewat rangkaian tur tertahan. Sementara itu, promosi melalui dunia digital juga butuh penyesuaian yang tidak sebentar.
Pada masa jayanya konser dan festival, musik rock mendapatkan energi dari kerumunan massa. Log pernah mendatangkan band cadas Sepultura, kemudian membawanya tur ke lima kota. Tiket konser band yang musiknya keras dan lirik lagunya lebih banyak berisi umpatan dan makian itu laris manis. Log dan sumber dayanya bisa membuat hal-hal yang sepertinya mustahil menjadi nyata.
Di Jogjakarta dan Bandung, menurut Log, model konser dan festival musik rock masih berjalan. Bahkan, dua kota itu punya event tahunan yang masih konsisten diselenggarakan. “Surabaya tidak punya lagi event seperti itu. Tidak ada kegiatan,” ujarnya.
Bukan tanpa alasan jika Surabaya yang melahirkan AKA, SAS, dan Boomerang kini jauh dari ingar bingar panggung rock. “Dulu bebas memakai stadion sebagai venue musik. Tapi, sejak zaman Bu Risma sudah tidak bisa lagi,” katanya. Pemkot tidak mengizinkan stadion menjadi lokasi konser atau festival musik. “Saya kali terakhir pakai Tambaksari untuk peringatan tiga dekade Log pada 2010,” imbuhnya.
Pemkot, menurut Log, mengarahkan para promotor musik ke Grand City. Di sana tersedia venue yang memadai untuk konser. Pemkot menyebut arahan itu sebagai bentuk pembinaan. Yang mereka sediakan adalah Grand City yang lokasinya di tengah kota, punya fasilitas parkir mencukupi, dan gedung yang representatif. Sayangnya, biaya sewa gedung tersebut sangat mahal.
“Beban jika harus menyewa Grand City itu. Gedungnya kecil, sewanya mahal. Yang seperti itu kan namanya bukan pembinaan,” keluh Log.
Tentang potensi Surabaya sebagai panggung musik rock Indonesia, Log masih optimistis. Setelah Boomerang, Power Metal, Andromeda, dan Grassrock meredup, sejumlah band rock bermunculan di Kota Pahlawan. Namun, mereka yang lahir pada era digital memang membutuhkan treatment yang berbeda.
Band-band baru itu tidak perlu mencetak album untuk menciptakan pasar. Cukup lempar single dan tunggu reaksi masyarakat. Jika lagu mereka banyak diputar, ada kemungkinan single tersebut sukses. Lalu, apakah disusul dengan album? Jangan dulu. Lanjutkan dengan single lagi. “Proses di era digital memang lebih lama,” ujar Log.
Persaingan band rock pada era digital pun lebih ketat. Jika dulu mereka berusaha merebut perhatian pasar yang tersegmen, kini pasar yang diperebutkan sifatnya lebih global. Musik rock harus bersaing dengan banyak genre musik lain yang bisa dengan mudah menjadi viral dan favorit hanya dengan mengubahnya menjadi versi EDM atau versi akustik.
Praktik cover version yang biasanya menjadi lebih diminati ketimbang musik aslinya membuat persaingan kian sulit. ’’Yang digarapnya serius, ditanggapinya malah biasa saja,” ungkap Log. Namun, pasar digital memang unik. Para pelakunya perlu terus belajar.
Jika ingin musik rock dalam negeri bangkit lagi, komunitas-komunitas pendukung yang kini tersebar di banyak kota dan skalanya kecil harus saling mendukung. Jangan malah saling menjatuhkan. “Era saya dulu para penggemar rock itu bersatu. Tidak pakai komunitas-komunitas seperti sekarang. Kalau mau berjaya, ya harus bersatu mendukung yang memang layak,” tandasnya.