WAYANG adalah bayangan. Pertunjukan wayang kulit atau pakeliran adalah bayangan atau refleksi kehidupan. Karena itu, para penggemar fanatik wayang menonton pertunjukan itu dari balik layar sehingga benar-benar menyaksikan wayang atau bayangan yang sesungguhnya.
Wayang memainkan peran sentral dalam membentuk budaya masyarakat Jawa dan sekaligus memengaruhi budaya politik masyarakat Jawa. Politik Indonesia adalah politik Jawa. Maka, politik Indonesia adalah politik wayang.
Wayang menjadi bahan perdebatan nasional ketika seorang ustad pendakwah –dalam sebuah forum pengajian setahun yang lalu– dikabarkan menghukumi wayang sebagai haram. Sang ustad juga disebutkan meminta agar wayang dimusnahkan. Tidak semua pernyataan ustad itu dikutip secara akurat. Tetapi, itu tidak penting. Kontroversi sudah keburu meledak. Reaksi keras meluas. Kemarahan mendidih.
Budaya wayang dari India sudah masuk ke wilayah Nusantara terlebih dahulu sebelum Islam tiba di abad ke-7. Seiring dengan berkembangnya agama Hindu, wayang pun menjadi budaya yang diterima secara luas di Jawa. Tradisi mistisisme yang dianut masyarakat Jawa berkesesuaian dengan ajaran Hindu dan karenanya agama Hindu bisa diterima tanpa adanya benturan.
Kisah-kisah pewayangan dari Mahabharata dan Ramayana mengalami akulturasi dan dengan cepat menyatu dengan kebudayaan lokal serta menghasilkan sintesis budaya baru. Para pendakwah awal Islam ke Nusantara menyadari sepenuhnya bahwa wayang sudah menjadi bagian dari budaya Jawa yang sangat mengakar.
Karena itu, para pendakwah yang dikenal sebagai ’’Wali Sanga’’ tidak mengambil jalan konfrontatif dalam strategi dakwahnya. Salah seorang anggota Wali Sanga yang terkenal, Sunan Kalijaga, menjadikan wayang sebagai sarana dakwah dengan tetap memakai pakem cerita Hindu tetapi memasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya.
Konsep Islam yang egaliter sangat menarik minat pemeluk Hindu untuk berpindah ke agama baru. Mereka pun berbondong-bondong masuk Islam. Secara formal sudah memeluk Islam, tapi secara ritual ubudiyah praktik Hindu masih mendominasi.
Strategi dakwah Wali Sanga dibagi menjadi dua fase. Fase pertama adalah penyebaran dan fase kedua adalah pemantapan. Fase pertama sudah berhasil dilakukan, tetapi fase kedua terhambat oleh kedatangan kolonialisme Eropa ke Nusantara. Fase pemantapan dan pemurnian Islam pun terhambat dan Islam tenggelam karena dominasi imperialisme dan kolonialisme.
Baru pada awal abad ke-20 muncul gagasan pemurnian ajaran Islam dari Timur Tengah yang kemudian masuk ke Indonesia. Gerakan pemurnian dan kebangkitan Islam ini diperkenalkan oleh Jamaludin Al-Afghani di Mesir melalui gerakan politik Pan-Isamisme. Kemudian, ada juga Muhammad Abduh dari Mesir yang memperkenalkan pemurnian dan kebangkitan Islam melalui pendidikan. Di jazirah Arab muncul Muhammad bin Abdul Wahab yang mengajarkan pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada tradisi salaf era Nabi Muhammad SAW.
Ajaran Al-Afghani dan Abduh membawa pengaruh di Indonesia dengan lahirnya gerakan pembaruan dan modernisme yang antara lain melahirkan organisasi Muhammadiyah pada 1912 yang berorientasi kepada pendidikan. Pada tahun yang sama, H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan Syarikat Islam yang lebih berorientasi politik.
Gerakan pembaruan dan modernisme itu banyak berbenturan dengan tradisionalisme Islam yang masih mempraktikkan Islam sinkretis. Pada 1926, berdiri Nahdlatul Ulama (NU) yang lebih akomodatif terhadap praktik ibadah sinkretis ala Islam Jawa.
Clifford Geertz membagi strata sosial masyarakat Jawa menjadi santri, priayi, dan abangan. Kalangan santri lebih banyak mempraktikkan pemurnian Islam, sementara kelompok priayi dan abangan masih setia dengan pengamalan Islam sinkretis yang berbaur dengan mistisisme Jawa.
Gerakan pemurnian Wahabi juga mendapatkan banyak pendukung di Indonesia. Muncullah berbagai ketegangan antara gerakan pemurnian dan kelompok-kelompok tradisional. Ketegangan itu berkembang menjadi polarisasi politik. Partai-partai nasionalis seperti PNI banyak disokong oleh kalangan tradisionalis dan partai-partai Islam seperti Masyumi didukung oleh kalangan modernis.
Fenomena itu berlanjut ke era Orde Baru. Golkar menjadi partai kaum priayi, PDI menjadi partai kalangan nasionalis-sinkretis, dan PPP menjadi partai Islamis. Kondisi ini terus berlanjut sampai sekarang. PDIP menjadi reinkarnasi dari PDI, Golkar lama menjadi Golkar baru, dan Masyumi yang dibubarkan bereinkarnasi menjadi partai-partai berbasis Islam seperti PKS dan PAN.
Perdebatan wayang yang beberapa waktu belakangan ini viral adalah kelanjutan dari perdebatan panjang yang mewarnai lanskap sosial dan politik Indonesia selama berabad-abad.
Dalam tradisi pakeliran wayang, ada episode ’’goro-goro’’ yang menjadi panggung bagi munculnya para punakawan yang menjadi representasi wong alit. Episode ini menjadi selingan dari episode wayang yang didominasi oleh para kesatria dan para dewa.
Pada episode ’’goro-goro’’ inilah, rakyat jelata menguasai panggung dan pakeliran. Mereka menjungkirbalikkan tatanan sosial-politik yang didominasi oleh para elite. Goro-goro menjadi pembuka bagi perang total Baratayuda.
Pemilu 2024 mendatang akan menjadi panggung ’’goro-goro’’ dalam pakeliran politik Indonesia. Semoga tidak terjadi Baratayuda. (*)
—
*) Pemimpin Redaksi Jawa Pos 2000–2002