JawaPos.com – Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyoroti adanya kesalahan, terkait kasus Nurhayati yang sempat dijadikan tersangka oleh Polres Cirebon dalam membongkar korupsi.

Menurut Kurnia, Polres Cirebon telah gegabah dalam menetapkan tersangka Bendahara Keuangan Desa Citemu, Cirebon Nurhayati. Padahal bukti-buktinya sangatlah kurang. Sehingga Nurhayati seharusnya tak layak dijadikan tersangka.

“Berdasarkan pengakuan Ketua Badan Permusyawaratan Desa Citemu, terbongkarnya perkara korupsi yang menyeret Kepala Desa di wilayah tersebut justru didapatkan berkat informasi dari Nurhayati. Sehingga, dengan logika sederhana, bagaimana mungkin Nurhayati yang memberikan informasi, justru dirinya ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Kurnia kepada wartawan, Selasa (1/3).

Karena itu, Kurnia menegaskan langkah hukum Polres Cirebon yang terkesan dipaksakan ini menimbulkan sejumlah persoalan serius. Pertama, nama baik Nurhayati telah tercemar akibat status tersangka yang disematkan Polres Cirebon.

Kemudian kedua, penetapan tersangka kepada pihak yang diduga memberikan informasi berpotensi besar menyurutkan langkah masyarakat untuk berkontribusi dalam isu pemberantasan korupsi.

“Permasalahan ini semestinya tidak terjadi jika saja Polres Cirebon bertindak profesional, setidaknya memahami perbedaan perbuatan pidana dan administratif serta ketentuan ‘Alasan Pembenar’ dalam hukum pidana yang disebutkan Pasal 51 KUHP,” katanya.

Menurut Kurnia, penting untuk ditekankan, Pasal 41 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sudah menjamin adanya peran serta masyarakat, salah satunya terkait hak memberikan informasi dugaan korupsi kepada aparat penegak hukum dan mendapatkan perlindungan hukum.

“Maka dari itu, sejak awal ICW menyerukan dua hal, yakni, desakan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk segera memberikan perlindungan hukum kepada Nurhayati dan permintaan supervisi dari KPK terhadap kinerja Polres dan Kejari Cirebon,” ungkapnya.

Karena itu, Kurnia menuturkan ICW mendesak agar Divisi Profesi dan Pengamanan Polri segera memanggil dan memeriksa penyidik Polres Cirebon yang menetapkan tersangka Nurhayati.

“Sebab, para penyidik itu berpotensi melanggar kode etik Polri, khususnya Pasal 10 ayat (1) huruf a dan d Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 terkait Etika dalam Hubungan dengan Masyarakat,” tuturnya.

Kurnia menegaskan, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo juga perlu menegur keras Kapolres Cirebon. Hal ini lantaran anak buahnya telah bekerja tidak profesional.

“Kapolri segera menegur dan mengevaluasi Kapolres Cirebon karena terbukti tidak profesional dalam mengawasi tugas bawahannya saat menangani perkara korupsi di Desa Citemu,” imbuhnya.

Sebelumnya, kasus Nurhayati sempat viral di media sosial dan menarik perhatian publik karena banyak pihak menilai ia merupakan salah satu pelapor/pihak yang berupaya membongkar kasus korupsi dana desa di Desa Citemu, Cirebon, Jawa Barat.

Penetapan Nurhayati sebagai tersangka oleh Polres Cirebon pada pekan lalu menuai kritik dan protes masyarakat serta berbagai organisasi masyarakat sipil.

Dalam perkembangannya, Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto mengatakan Kejaksaan Agung sepakat untuk menghentikan penyidikan terhadap Kepala Urusan Keuangan Desa Citemu Nurhayati yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dana desa oleh Polres Cirebon.

Agus menyampaikan dirinya telah bertemu dengan Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah dan Jaksa Angung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil membahas masalah P-21 Nurhayati. Hasil gelar perkara menunjukkan penyidik Polres Cirebon tidak memiliki cukup bukti menetapkan Nurhayati sebagai tersangka dugaan korupsi dana desa.

By admin