DEDE Sulaeman adalah pesepak bola yang ngetop pada 1970-an sampai 1980-an. Namanya dielu-elukan karena berhasil menjebol gawang Korea Selatan (Korsel) pada Pra-Piala Dunia 1986. Winger timnas Indonesia zaman dulu itu terpaksa gantung sepatu pada usia yang bisa dibilang masih produktif. Dede menceritakan kondisi sepak bola saat itu dan aktivitasnya kini saat berbincang dengan Jawa Pos pada 22 Februari lalu.

Pak Dede, apa kabar?

Alhamdulillah, kabar saya baik.

Bapak pensiun sebagai pesepak bola saat masih berusia 30 tahun. Bagaimana ceritanya?

Jadi, dulu, saat masih aktif bermain bola, saya juga bekerja di Pertamina. Lalu, pada usia 30 tahun, hati saya harus memilih. Memilih te membagi waktu antara bekerja dan bermain bola atau full bekerja. Akhirnya, saya memilih untuk fokus bekerja.

Kenapa lebih memilih bekerja?

Penghasilan pesepak bola pada masa itu tidak sekeren sekarang. Nah, karena punya pilihan, saya memilih untuk fokus bekerja. Setelah memutuskan untuk fokus bekerja, saya mengikuti kaderisasi pemimpin di kantor. Itu menjadi bekal saya untuk meng-upgrade diri. Akhirnya, sebelum pensiun di Pertamina, saya dipercaya sebagai manajer Terminal Transit BBM Jakarta Group.

Bagaimana ceritanya seorang pesepak bola bisa bekerja di Pertamina?

Dulu pemain tim nasional yang berprestasi tidak mendapat bonus. Sebagai gantinya, para pemain timnas diberi kesempatan untuk bergabung dengan BUMN. Ada juga yang diberi kesempatan untuk bekerja di pemerintah daerah (pemda). Nah, saya masuk ke Pertamina. Sebab, Pertamina adalah ”ayah asuh” dari klub Indonesia Muda. Itu adalah klub yang terakhir saya bela sebelum gantung sepatu.

Dulu bagaimana caranya membagi waktu antara bekerja dan bermain bola?

Setiap ada jadwal latihan dan pertandingan, saya diberi izin. Tapi, saat kompetisi kosong, saya harus bekerja seperti karyawan lainnya. Kalau saya izin untuk memperkuat timnas, gaji saya aman. Tidak dipotong. Tapi, kalau saya izin karena bermain untuk klub, gaji saya dipotong.

Biasanya, mantan pemain timnas melatih klub Liga Indonesia. Kenapa Bapak tidak begitu?

Saya sibuk bekerja. Saya bekerja di Pertamina pada 1979–2012. Saya tidak hanya menetap di Jakarta. Saya juga pernah dipindahkan ke Ternate, lalu ke Jayapura. Pernah juga ke Samarinda dan Bandung. Terakhir, saya kembali bertugas di Jakarta sampai pensiun. Jadi, kesempatan saya melatih klub tidak ada.

Setelah tidak lagi bekerja di Pertamina, apa kesibukan Pak Dede saat ini?

Pada 2015, saya ditunjuk menjadi tim pencari bakat di Liga Kompas. Itu saya jalani sampai 2020. Selama saya menjadi talent scouting di Liga Kompas, ada banyak pemain berbakat yang pernah saya pantau dan kini menjadi penggawa timnas. Salah satunya, Egy Maulana Vikri. Sayangnya, pada 2021, Liga Kompas tidak bergulir akibat pandemi. Kemudian, di sela-sela Liga Kompas, saya juga pernah menjadi tim pencari bakat di Gala Siswa Indonesia pada 2020–2021. Yang terakhir, saya menjadi tim pencari bakat dalam ajang Piala Jakarta. Itulah event untuk mencari pemain muda berbakat yang nanti bergabung dengan tim Garuda Select.

Sekarang banyak pemain muda Indonesia yang berkarier di luar negeri. Bagaimana Pak Dede melihatnya?

Itu bagus. Sangat membantu perkembangan mereka. Pada era saya, akses pemain-pemain Indonesia untuk bermain di luar negeri tidak semudah sekarang. Waktu itu sulit. Sebab, tidak ada agen. Memang, ada beberapa pemain yang bermain di luar negeri. Iswadi Idris (gelandang timnas pada 1960–1970-an, Red) pernah main di Australia. Risdianto (pemain timnas era 70-an kelahiran Pasuruan) pernah main di Hongkong. Ricky Yacobi (berkarier di timnas pada 1985–1990) pernah di Jepang. Itu tidak ada agennya.

Apakah di keluarga Pak Dede ada penerus untuk menjadi pemain bola?

Saya memiliki anak laki-laki. Kemampuan main bolanya bagus. Turunan dari saya. Tapi, saat saya berikan pilihan antara main bola atau kuliah, dia memilih kuliah. Saya tidak bisa memaksa. Dia sekarang sudah menyandang gelar sarjana teknik lulusan Universitas Trisakti.

Pak Dede dulu sempat mencalonkan diri sebagai ketua umum Persija pada 2015. Apa alasannya?

Karena saya adalah mantan pemain Persija dan timnas, saya ingin memajukan sepak bola di Jakarta. Tapi, saya tidak melanjutkan niat itu. Saya melihat pemilihannya tidak sehat.

Apakah sekarang masih ada niat untuk menjadi pengurus sepak bola?

Ya, hati saya ada di sepak bola. Niat tentu ada. Tapi, saya harus melihat situasi dan kondisi.

YANG DIKENANG DARI SANG LEGENDA

– Menjadi andalan tim nasional pada 1975–1985.

– Mencetak satu-satunya gol bagi tim nasional Indonesia ke gawang Korea Selatan pada Pra-Piala Dunia 1986 di Stadion Utama Gelora Bung Karno.

– Hanya membela dua klub di level senior. Yaitu, Persija Jakarta dan Indonesia Muda.

– Menciptakan assist bagi gol Andi Lala dalam perebutan gelar juara Perserikatan 1979 melawan PSMS Medan. Persija menjadi juara setelah menang dengan skor 1-0.

– Top scorer Galatama musim 1982–1983 dengan 17 gol. Perolehan gol itu sama dengan nomor punggung Dede.

By admin