PENUTUR bahasa Madura semakin berkurang, bahkan di tanahnya sendiri. Fenomena itu membuat Abdir Arifin prihatin. Pengajar sekaligus pemerhati bahasa Madura yang tinggal di Sumenep itu menyatakan bahwa sebenarnya akar permasalahan ada di rumah. Di rumah, orang tua sudah jarang menggunakan bahasa ibu dalam percakapan sehari-hari.
Masyarakat Sumenep, menurut dia, lebih suka menggunakan bahasa Indonesia di rumah. Atau, setidaknya campuran bahasa Indonesia dan bahasa Madura. Itu membuat pamor bahasa ibu luntur. Bahasa Madura tidak lagi terdengar di rumah-rumah warganya sendiri.
’’Itu yang di pelosok, di pedesaan. Yang di kota, gimana? Mungkin lebih banyak,’’ papar Abdir melalui sambungan telepon dengan Jawa Pos pada Rabu (23/2) sore.
Jika di ruang-ruang pribadi seperti rumah saja pemakaian Bahasa Madura nyaris tidak terdengar lagi, bagaimana dengan di ruang publik? Sekolah, misalnya. Menurut Abdir, penggunaan Bahasa Madura di sekolah sangat rendah. Percakapan antarsiswa juga didominasi Bahasa Indonesia. ‘’Karena itu, mungkin muda-mudi jadi merasa nggak gaul waktu berbicara Bahasa Madura,” lanjutnya.
Kendati demikian, dia yakin bahasa Madura sebagai bahasa ibu tidak akan punah. Pottre Koneng, kursus bahasa Madura khusus pengajar yang dikelolanya, menerima banyak murid dari latar belakang non pendidikan bahasa.
‘’Ya, saya harap, mereka bisa pakai bahasa Madura juga untuk ngajar di kelasnya. Apalagi, guru yang saya ajar itu rata jenjangnya. Dari SD sampai SMK,” imbuh pria berusia 80 tahun itu.
Selain memberikan kursus, Abdir hendak memperbanyak tulisan dalam bahasa Madura. Sebab, tidak ada banyak literatur dalam bahasa Madura yang bisa menjadi sarana belajar. Kalaupun ada, umumnya dalam kemasan buku pelajaran. Pria yang masih aktif menulis itu ingin merilis kumpulan legenda dan cerita rakyat Madura. Menurut dia, kisah-kisah itu masih kerap dituturkan di rumah maupun sekolah.
’’Lokasi dan peristiwanya juga ada di Madura. Inginnya, saya buat dua versi. Satu dengan aksara Madura, satu lagi versi latin, tapi dalam bahasa Madura,’’ papar Abdir. Cerita itu nantinya ditulis dengan tatanan bahasa engghi-enten atau setara dengan krama-madya dalam bahasa Jawa. Halus, tetapi masih mudah dipahami.
Abdir juga berharap bahasa Madura bisa dilestarikan penuturnya lewat lagu. Sebagaimana halnya lagu-lagu berbahasa Jawa, Batak, atau Melayu khas Indonesia Timur yang sedang viral di media sosial.
Dia menyatakan bahwa lagu-lagu berbahasa Madura masih diperdengarkan di radio setempat. Namun, untuk bersaing dengan bahasa daerah lainnya, lagu-lagu bahasa Madura masih harus naik kelas. ’’Yang saya sayangkan, pencipta lagu masih sering salah penulisan dan ejaan sehingga pengucapannya juga meleset. Padahal, kalau ditulis dengan bagus, penyanyinya juga bagus, lagu berbahasa Madura bisa dikenal luas,’’ paparnya.