VLADIMIR Putin dan XI Jinping bisa menjadi diktator idaman bagi para calon diktator. Terutama dalam memperpanjang masa jabatan. Putin, yang kini sibuk menghajar tetangganya yang kecil, Ukraina, sukses mengutak-atik aturan main berkuasa. Sosok 69 tahun itu bisa jadi presiden hingga 2036. Sampai usia 83 tahun (kalau tidak mati duluan).
Begitu pun Xi Jinping. Penguasa Tiongkok berusia 68 tahun itu mengamandemen konstitusi sehingga bisa dipilih berapa periode pun dia mau. ”Reformasi”, yang membatasi kekuasaan presiden Tiongkok hanya dua periode, dihapus. Apa yang dilakukan Xi Jinping itu tepat berkebalikan dengan reformasi kita.
Setelah Pak Harto tumbang, pasal UUD 1945 yang memungkinkan Pak Harto menjadi presiden berperiode-periode tanpa batas diubah saat palu ketua MPR dipegang Amien Rais. Bunyi asli pasal 7 UUD 1945 adalah: Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Pasal itu ditambahi frasa pembatasan menjadi: Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Penambahan frasa ”…dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan” ini sangat tegas. Dua periode (maksimal) harga mati! Tak ada perpanjangan waktu. Pembatasan ini penting karena ada pengalaman perih bangsa ini akibat hasrat berkuasa tanpa batas. Pintu untuk menambah masa jabatan satu, dua, tiga, atau empat tahun setelah dua periode selesai juga tertutup. Dua kali lima tahun itu ya maksimal 10 tahun. Tak boleh ada penundaan pilpres yang menjadi perintah konstitusi.
Susilo Bambang Yudhoyono, yang memperoleh kekuasaan presiden selama dua periode (2004–2014), berakhir dengan konstitusional. Tak ada keributan dan polemik upaya untuk perpanjangan waktu dengan berbagai alasan. Misalnya, utang luar negeri tidak meroket, pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen, penegakan hukum dapat memenuhi rasa keadilan, check and balance dalam pemerintahan berjalan, pemberantasan korupsi tegas, KPK diperkuat, negara stabil, rakyat tidak terpecah, separatisme sepi, serta dalih-dalih keberhasilan lain.
Jabatan lebih lazim diperpanjang dengan dalih keberhasilan, bukan karena wabah, ekonomi payah, atau punya ambisi yang belum selesai. Justru, kalau mengalami krisis legitimasi akibat kegagalan, yang lazim adalah mempercepat pemilu. Seperti pemilu 1999, padahal baru pemilu dua tahun sebelumnya.
Mungkin ide perpanjangan waktu jabatan ini didapatkan dari sepak bola. Hanya, tambahan waktu dalam politik berbeda dengan sepak bola. Pihak yang unggul dalam sepak bola biasanya ingin waktu pertandingan habis setepat mungkin. Pas dua babak, 90 menit. Tanpa injury time. Sebab, kalau ada tambahan waktu beberapa menit, dikhawatirkan keunggulannya berkurang. Atau, bahkan kalah gara-gara gol lawan saat pertandingan sudah lewat dua periode.. eh dua babak.
Dalam politik, pihak yang menang ingin selalu menambah waktu. Agar tak segera lepas dari lezatnya menguasai dan mengatur orang lain. Dengan mengutak-atik aturan main, yang berada dalam kekuasaannya, dibuatlah kemungkinan mengulur waktu berkuasa itu. Selama mungkin. Kalau perlu, menjadi presiden seumur hidup seperti yang pernah disematkan kepada Bung Karno.
Musuh sejati penguasa egois adalah waktu. Begitu suatu periode selesai, besoknya dia sudah bukan siapa-siapa. Ini sangat menciutkan nyali. Sebab, dia bisa dengan mudah terpapar berbagai urusan terkait perilakunya saat berkuasa, yang tak tuntas dipertanggungjawabkan selama dia berkuasa. Termasuk konsekuensi yang paling keras, yakni pertanggungjawaban hukum. Yang si bekas penguasa tak bisa lagi mengaturnya.
Kekuasaan tinggi menjulang kerap jatuh secara suul khatimah ke dasar nasib. Pelajaran dari akhir kekuasaan para diktator dunia, yang sangat tak nyaman, selalu menjadi tontonan sejarah. Tetapi jarang yang menjadi tuntunan. Selalu saja ada diktator yang muncul kemudian dan kemudian jatuh dengan cara yang mirip. Padahal, kita selalu mengejek keledai yang dua kali jatuh ke lubang yang sama.
Di Indonesia, kita boleh optimistis periodisasi kekuasaan akan berlangsung konstitusional. Dan, tak ada aneh-aneh perpanjangan masa jabatan melampaui batasan UUD 1945, hukum paling dasar berdirinya negara Pancasila NKRI.
Presiden Joko Widodo, yang gampang dicari dua rekam video digitalnya, sudah menegaskan tak berniat, tak berminat menjadi presiden tiga periode. ”Ngomong presiden dipilih tiga periode itu ada tiga (motif) menurut saya (mengacungkan tiga jari tangan). (Mengacungkan telunjuk kanan) ingin menampar muka saya. Yang kedua (mengacungkan telunjuk dan jari tengah) ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka. Yang ketiga (mengacungkan telunjuk, jari tengah, dan jari manis) ingin menjerumuskan. Itu saja.”
Siapa yang mau mukanya ditampar? Siapa senang dengan si pencari muka? Siapa yang sudi dijerumuskan?
Kita pegang erat-erat kata-kata Presiden Joko Widodo yang sangat konstitusional itu. Dan, kita pegang juga jadwal pemilu dan pilpres yang sudah disetujui DPR, yakni tepat Hari Valentine, 14 Februari 2024.
Kita pegang itu karena ketinggian martabat manusia itu pada utuhnya kata-kata dan perbuatan. (*)
*) Editor Senior Jawa Pos