Manusia mengidentifikasi hantu sebagai makhluk tak kasatmata dengan rupa yang menakutkan. Dalam konteks keagamaan, makhluk tak kasatmata dikategorikan sebagai makhluk gaib. Yaitu makhluk yang eksistensinya tidak bisa dijangkau pancaindra manusia.
—
NAMUN, hantu tentu saja bukan makhluk gaib sebagaimana didefinisikan agama. Pertama, hantu memang tidak pernah dijelaskan dalam kitab suci. Kedua, hantu sebagaimana dipercaya sebagian besar manusia ternyata bisa menampakkan diri atau bisa dirasakan kehadirannya oleh pancaindra manusia walaupun dalam waktu yang hanya sepersekian detik.
Apa buktinya bahwa hantu bisa dirasakan kehadirannya oleh pancaindra manusia? Buktinya banyak orang mengetahui nama hantu sekaligus mendeskripsikan wujudnya. Nama dan wujud hantu ternyata dipengaruhi faktor geografis dan budaya.
Desa-desa zaman dulu yang masih diliputi suasana sepi, rimbun dengan pepohonan, dan gelap pada malam hari karena belum mendapat penerangan listrik menjadi tempat tinggal favorit para hantu. Jumlah hantu di pedesaan sangat banyak dan masing-masing daerah biasanya memiliki hantu lokal yang berbeda dengan hantu daerah lain.
Hantu pedesaan tinggal di lokasi-lokasi yang rimbun dan gelap: di rumpun bambu, pohon beringin (atau pohon besar lainnya), makam keramat, sungai atau sumber air yang sepi, serta tempat-tempat lain yang angker. Hantu akan menampakkan diri dan bisa dirasakan pancaindra manusia biasanya pada malam hari, ketika suasana gelap gulita atau ada cahaya tetapi terbatas. Dan yang mengherankan, hantu selalu menampakkan diri pada jarak yang lumayan jauh dari manusia. Tidak pernah ada hantu yang tiba-tiba turun dari pohon persis di hadapan manusia.
Orang yang bercerita bahwa ia baru saja melihat hantu biasanya menunjuk pada tempat yang lumayan jauh. Sehingga yang terekam mata hanya wujud yang samar-samar antara ada dan tiada. Walaupun orang percaya pernah melihat hantu pocong yang wujudnya mirip dengan mayat yang terbungkus kain mori, ketika disuruh menceritakan dengan detail biasanya agak kesulitan.
Pocong adalah salah satu jenis hantu pedesaan yang sudah bertransformasi menjadi hantu nasional sehingga keberadaannya saat ini di mana-mana, baik di desa maupun di kota. Hal tersebut bisa dimungkinkan berkat kerja kreatif para pembuat film yang menjadikan hantu pocong sebagai pemeran utama film-film bergenre horor.
Antropolog dari Amerika Serikat, Clifford Geertz, yang pada tahun 1950-an meneliti pedesaan Jawa berhasil mengidentifikasi hantu pedesaan yang disebut memedi. Jenis memedi ini cukup banyak. Antara lain jerangkong, banaspati, setan gundul, sundal bolong, gandarwo atau genderuwo. Selain yang diidentifikasi Geertz, masih banyak jenis hantu di pedesaan Jawa masa lampau. Seperti glundung pringis, wewe gombel, lampor, ondar-andir, dan lain-lain. Di pedesaan luar Jawa tentu saja banyak hantu lokal.
Hantu di perkotaan rata-rata menghuni gedung-gedung megah yang berusia tua, yang oleh masyarakat sering disebut sebagai gedong Landa (gedung Belanda). Sebagian besar gedung yang didirikan pada zaman kolonial ditengarai masyarakat dihuni hantu. Hantu penghuni gedung-gedung tua sering dinamai sebagai hantu Belanda. Wujudnya tentu saja jauh lebih keren daripada hantu pedesaan. Hantu Belanda mengacu pada orang-orang Belanda yang tinggi besar, berambut pirang, dan berkulit putih.
Hantu Belanda laki-laki biasanya memakai seragam mandor kebun, yaitu baju putih dan memakai topi gabus. Ada juga yang memakai jas. Sementara hantu Belanda perempuan digambarkan sebagai noni-noni yang cantik, berkulit putih, berambut pirang, serta memakai baju putih pula. Asal usul hantu noni biasanya dari perempuan Belanda yang bunuh diri. Hantu yang tinggal di rumah sakit tua sebagian besar merupakan penjelmaan dari suster yang bunuh diri atau dibunuh sehingga tidak bisa berjalan sempurna dan diberi nama suster ngesot.
Dilihat dari dress code-nya tentu saja hantu Belanda, dan hantu perkotaan lainnya, lebih glamor jika dibandingkan dengan hantu pedesaan. Hantu noni biasanya memakai baju pesta berwarna putih yang mewah. Suster ngesot tentu saja memakai baju perawat berwarna putih yang dilengkapi dengan topi perawat pula. Namun, namanya juga hantu, tentu saja harus bisa membuat takut bagi yang melihatnya sehingga baju putih hantu noni dan suster ngesot harus diberi bercak darah yang membuat seram.
Alam pedesaan yang semula gelap gulita dan menjadi sarang hantu pada malam hari berubah menjadi terang benderang berkat adanya listrik. Suasana malam yang terang ternyata membuat hantu tidak betah. Hantu-hantu memilih lari dari pedesaan gelap yang telah berubah menjadi pedesaan yang terang.
Sebuah pohon beringin besar yang semula dianggap sebagai keraton hantu dan pada malam hari menimbulkan suasana menakutkan karena gelap tiba-tiba berubah menjadi pohon yang tak memiliki daya magis apa pun manakala pada malam hari diberi nyala lampu listrik yang terang. Semakin banyak tempat yang mendapat penerangan, semakin banyak pula hantu yang boyongan. Listrik telah membuat otak yang gelap berubah menjadi terang sehingga menghilangkan imajinasi tentang hantu. Jika demikian, berarti hantu adalah hasil konstruksi pikiran manusia yang dilanda kegelapan?
Nah, namun ketika semua kawasan, baik pedesaan maupun perkotaan, telah terang benderang, mengapa hantu tiba-tiba muncul di film KKN di Desa Penari? Hantu di KKN di Desa Penari adalah hasil perkawinan antara orang-orang yang merindukan suasana masa lalu pedesaan Jawa dan teknologi komunikasi. Romantisisme mengenai pedesaan masa lalu yang gelap, terpencil, dan dihuni hantu dihadirkan kembali dan disebarluaskan melalui teknologi informasi. Berkat media sosial, hantu di KKN di Desa Penari berhasil menyelinap ke dalam imajinasi orang-orang kota yang tengah rindu dengan masa lalu. (*)
—
PURNAWAN BASUNDORO, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga dan guru besar bidang ilmu sejarah