Apakah menemukan koin-koin emas sementara kamu punya utang yang harus dibayar (dan berarti jaminan dibebaskan dari penjara karena urusan utang itu) lalu malahan mengembalikannya ke si pemilik merupakan perbuatan baik?
—
PERTANYAAN itu muncul di film A Hero karya sutradara kenamaan Iran, Asghar Farhadi. Dengan agak sinis, si rentenir yang memberinya utang memberi jawaban menusuk: Itu bukan perbuatan baik. Itu sesuatu yang harus dilakukan. Artinya, kewajiban dasar semata.
Pertanyaan tersebut juga merembet ke pertanyaan-pertanyaan lain. Siapakah yang pantas disebut pahlawan? Apakah pahlawan adalah mereka yang melakukan perbuatan baik (untuk masyarakat atau seseorang)? Perbuatan baik macam apa?
Jangan-jangan, apa yang disebut perbuatan baik itu sebetulnya kewajibannya belaka? Jangan-jangan, para pahlawan yang kita kenal itu sebetulnya ya mengerjakan tugasnya.
Film itu, meskipun hanya berkisah tentang orang yang sedang memperoleh pembebasan sementara dari penjara beserta dilemanya, menyeret saya ke kehidupan nyata, ke masalah-masalah yang mungkin lebih luas.
Mengikuti logika film tadi, dan saya tak bisa tidak setuju dengannya, apa yang disebut perbuatan baik seharusnya hal-hal yang melampaui kewajiban dasar. Jika tak melakukannya, tidak menjadi buruk.
Membeli barang seharga nominal yang tercantum merupakan kewajiban, itu bukan perbuatan baik. Kita juga tak akan menyebut pembeli semacam itu sebagai pahlawan, bukan? Sementara itu, memberi tambahan uang di luar harga barang untuk si penjual atau pelayan toko, itu baru bisa dibilang perbuatan baik.
Kita tahu mencuri itu perbuatan buruk. Begitu pula memukul orang. Tapi, meskipun baik dan buruk dianggap merupakan sifat-sifat yang bertentangan, tidak melakukan perbuatan buruk bukan berarti telah melakukan perbuatan baik, demikian pula sebaliknya.
Film ini mencoba memperlihatkan kenyataan yang lain. Orang yang memutuskan mengembalikan koin-koin emas ke pemiliknya dianggap melakukan perbuatan baik. Ia bahkan disebut sebagai pahlawan. Ia diundang ke acara amal dan banyak orang kagum kepadanya. Masuk TV dan dielu-elukan.
Tunggu, bukankah hal semacam itu juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari? Seberapa sering kita mendengar seorang istri mengatakan bahwa suaminya ”sangat baik” hanya karena ia menafkahi keluarga, mengasuh anak, dan terutama tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga? Padahal, bukankah itu kewajibannya?
Melindungi masyarakat seharusnya merupakan kewajiban polisi. Memberi pengajaran dan melimpahi murid dengan ilmu pengetahuan merupakan kewajiban bagi guru. Memperbaiki keran air yang bocor merupakan kewajiban tukang yang dibayar.
Demikian pula, memberi kursi di kendaraan umum kepada penumpang prioritas yang membutuhkan merupakan kewajiban penumpang yang sehat.
Kenyataannya, pada saat yang sama, bukan hal yang sulit untuk menemukan orang yang menganggap perbuatan-perbuatan di atas sebagai kebaikan dan pelakunya dianggap pahlawan. Termasuk sesederhana memberi kursi di kendaraan umum, setidaknya orang bisa melihat pelakunya dengan hormat atau kagum.
Kembali ke film tadi dan mari berandai-andai. Jika kita menemukan tas dan isinya 17 koin emas, sementara kita tak tahu persis siapa pemiliknya, tak ada juga pengumuman soal barang hilang, apa yang akan dilakukan?
Setidaknya, di film itu naluri awal si tokoh adalah memiliki koin-koin itu sendiri. Saya kok merasa, itu premis umum. Dengan kata lain, itu sejenis standar perilaku kebanyakan orang. Apalagi dalam keadaan butuh.
Apa yang dilakukan si tokoh kemudian, yakni mengembalikannya, berada di atas rata-rata perilaku sesamanya, itulah kenapa ia dianggap melakukan perbuatan baik.
Sekarang bayangkan, di satu wilayah yang dikuasai para preman pemeras. Di sana mereka selalu membeli barang di warung di bawah harga sebenarnya, bahkan sering juga tak membayar. Pemilik warung pasrah saja daripada warungnya dibakar atau dirinya disiksa.
Lalu, satu hari ada preman yang membayar pas seharga barang. Karena standar perilaku orang-orang di wilayah itu rendah, si preman terakhir bisa saja dianggap pemilik warung sebagai ”baik”.
Jangan-jangan, hidup kita ini sebagian besar persis seperti gambaran wilayah yang dikuasai preman tersebut. Perbuatan yang seharusnya wajar menjadi ”perbuatan baik” karena perilaku umum demikian buruknya. Orang yang melakukan hal biasa menjadi sejenis pahlawan, panutan, hanya karena sekelilingnya perampok-pemeras.
Seperti umumnya nilai, ukuran kebaikan naik turun mengikuti lingkungannya. Di tengah orang-orang buta huruf, orang yang bisa membaca bisa menjadi ”pintar”.
Suami yang tak menampar istri, yang mengasuh anak, yang menafkahi keluarga, tentu saja dengan mudah jadi suami idaman. Itu terjadi jika suami yang menampar istri, tak mengasuh anak, dan tak menafkahi keluarga ada di mana-mana seolah menjadi norma dan tabiat umum.
Seberapa sering polisi tidur saja dianggap polisi baik? Apakah itu gambaran bahwa polisi kita suka menembak dan menyiksa warganya sendiri? Apakah politisi yang jujur dan mengerjakan tugasnya dianggap politisi baik karena umumnya mereka penipu, tukang ingkar janji, dan tak bisa kerja? (*)
—
*) EKA KURNIAWAN, Penulis dan novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016